Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemekaran Kepentingan Elite

Kompas.com - 30/11/2012, 02:48 WIB

Oleh Syarif Hidayat

Diskursus tentang pemekaran daerah dalam tiga bulan terakhir ini terlihat semakin mengerucut. Di antara isu sentral yang banyak mendapat sorotan adalah mengungkap ”kepentingan implisit” para elite di balik upaya pembentukan daerah otonom baru.

Menariknya, keresahan tentang hal itu mulai disuarakan oleh kubu pemerintah, antara lain, dapat disimak pada pernyataan yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah dan Menteri Dalam Negeri (Kompas, 20-21/11/2012). Di antara poin penting yang menarik untuk dicatat dari pernyataan dua petinggi pemerintah ini adalah adanya kesan yang kuat untuk merekatkan realitas bias kepentingan elite dalam pemekaran daerah hanya pada elite daerah.

Sementara, di kalangan para elite pemerintah pusat, khususnya di lingkungan Kementerian Dalam Negeri sendiri, terkesan ”steril” dari praktik perburuan kepentingan ekonomi-politik jangka pendek tersebut. Menurut hemat penulis, Kemendagri dalam kapasitasnya sebagai salah satu ”pintu masuk” bagi proposal pemekaran daerah sulit dipercaya untuk tidak terlibat dalam spektrum bias kepentingan elite tersebut.

Oleh karena itu, tantangan bagi Pak Menteri dan Dirjen Otda adalah ”bersih-bersih rumah sendiri” sebelum melangkah lebih jauh mengelola dan mengendalikan bias kepentingan elite pada konteks yang lebih luas.

Bias kepentingan elite

Sejatinya keberadaan dari kepentingan implisit para elite di balik ”proyek” pemekaran daerah tersebut bukanlah sesuatu yang luar biasa, tatkala kecenderungan ini diartikulasi pada konteks praktik politik praktis. Bias kepentingan elite di Indonesia, kemudian, terkesan sangat masif karena secara kebetulan berkoinsidensi dengan realitas transisi demokrasi yang sedang terjadi.

Secara teoretis, di antara karakteristik penting dari periode transisi adalah, proses pengambilan keputusan ataupun implementasi kebijakan, baik di tingkat nasional maupun daerah, lebih banyak diwarnai oleh koalisi dan tawar-menawar kepentingan antara elite masyarakat (societal actors) pada satu sisi dan elite penyelenggara negara (state actors) pada sisi lain. Oleh karena itu, apa yang dapat kita lakukan bukanlah menihilkan bias kepentingan elite, melainkan lebih pada upaya meminimalkan keberadaannya.

Pengendalian bias kepentingan elite memang bukan pekerjaan mudah karena aktor yang terlibat sangat kompleks dan sifatnya multilevel. Kegagalan kebijakan moratorium pemekaran daerah, yang sedikitnya telah dua kali dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2007 dan 2010), antara lain, karena sulitnya mendeteksi dan memutus ”jaringan multilevel” para elite tersebut. Apa kemudian yang terjadi?

Kebijakan moratorium telah melahirkan praktik ”politik buka-tutup pintu”. Pihak eksekutif, dalam hal ini Kemendagri dan Kementerian Keuangan, menginginkan untuk sementara menutup pintu pemekaran daerah setelah mempertimbangkan biaya sosial, politik, dan anggaran yang ditimbulkannya. Sementara pihak ”Senayan” (DPR dan DPD) membuka pintu untuk itu.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com