Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memahami Konflik Poso

Kompas.com - 01/11/2012, 02:28 WIB

Hasrullah

Poso kembali bergejolak. Konflik yang dialami masyarakat tak kunjung usai. Peristiwa berdarah itu terkadang tak mengenal lagi humanisme dan kemanusiaan.

Bom Poso yang meledak akhir-akhir ini tidak bisa dilihat secara sederhana atau murni gerakan teroris semata. Termasuk bom yang meledak di Pos Polisi Lalu Lintas Kabupaten Poso, yang melukai beberapa korban tak berdosa.

Ledakan yang dialamatkan ke pihak keamanan dapat juga diterjemahkan sebagai protes terhadap kelompok tertentu yang tidak nyaman dan puas terhadap pembangunan infrastruktur. Atau, bisa juga, rekonsiliasi yang berdasarkan perbedaan pandangan ideologis dan strata sosial ekonomi ternyata belum tuntas hingga ke akar rumput. Untuk itulah perlu kita memahami secara komprehensif dan simultan dari aspek pesan politiknya.

Protes sosial

Tindakan teror yang dialamatkan kepada pihak kepolisian jadi pertanda pesan komunikasi politik bernuansa protes sosial. Kejadian ledakan bom bukan lagi pertikaian antarwarga yang bermotif suku, agama, suku, dan antargolongan (SARA) seperti saat muncul konflik poso 1998.

Teror bom yang dianggap sebagai ”perlawanan” terhadap aparat keamanan dan penguasa, mengindikasikan ada pihak tertentu yang ingin tetap eksis. Mereka ingin menunjukkan jati dirinya dan ingin mendapat perhatian khusus dari pemerintah.

Pengamatan ini cukup beralasan, terutama bila bertolak dari perspektif Perjanjian Malino. Perjanjian yang ditandatangani 20 Desember 2001 itu merupakan wujud keinginan kelompok yang bertikai—Muslim dan Nasrani—untuk mengakhiri konflik dengan konsensus.

Lahirnya konsensus Deklarasi Malino untuk Poso telah memiliki ikatan politik, ekonomi, dan sosial untuk mengakhiri segala bentuk perselisihan.

Testimoni perdamaian yang mengikat antarelite dan masyarakat: konflik itu merugikan masyarakat Poso sendiri. Komunikasi politik yang ditangkap dari konflik itu bahwa kesepakatan politik berupa power sharing merupakan jalan abadi untuk mencegah konflik. Hanya saja, selama satu dekade terakhir, rentetan peristiwa—di antaranya penculikan dan peledakan bom—masih tetap. Berdasarkan hasil kajian penulis, konflik berkepanjangan di Poso bukanlah persoalan agama, melainkan perebutan kepentingan politik dan ekonomi pribumi-pendatang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com