JAKARTA, KOMPAS.com - Angelina Sondakh alias Angie terdakwa kasus dugaan penerimaan suap penganggaran proyek di Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olaharaga membantah disebut menggiring proyek peningkatan sarana dan prasarana di sejumlah universitas. Menurut Angie, dirinya hanya mengakomodir kepentingan rektor-rektor di daerah.
“Itu kan karena saya ketika kunjungan di daerah, dimarahi sama rektor. Kata mereka, banyak program yang tidak direalisasikan pemerintah,” kata Angie seusai persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (18/10/2012).
Menurut Angie, dirinya memang bertindak sebagai koordinator kelompok kerja (Pokja) Komisi X sekaligus anggota Badan Anggaran DPR yang melakukan pembahasan anggaran proyek Kemendiknas. Meski demikian, Angie memastikan bahwa program dan anggaran proyek universitas yang dibahas oleh Komisi X DPR tersebut sudah diusulkan melalui pemerintah. "Semua yang dibahas merupakan usulan pemerintah," kata politikus Partai Demokrat itu.
Pernyataan Angie ini membantah sebagian keterangan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Haris Iskandar yang diperiksa sebagai saksi dalam persidangan kasusnya. Saat bersaksi, Haris mengungkapkan kalau Angelina pernah menitipkan kepadanya agar universitas-universitas di bagian Timur Indonesia menjadi perhatian Pemerintah.
Haris juga mengatakan ada 16 proposal tambahan dari universitas yang diajukan anggota Komisi X DPR dan tidak melalui pihak Dikti. Padahal, setiap universitas seharusnya mengajukan proposal anggaran melalui Dikti.
“Pada saat RDP (rapat dengar pendapat), ada anggota DPR yang sudah megang proposalnya sementara saya saja belum,” kata Haris dalam persidangan. Menurut Haris, ada sekitar 16 proposal tambahan yang dibawa anggota Dewan dan muncul dalam RDP. Nilai anggaran yang diajukan melalui proposal tersebut masing-masing minimal Rp 20 miliar.
Dikatakannya, proposal yang tidak diketahui Dikti tersebut diberikan langsung oleh pihak universitas kepada anggota Dewan. Atas munculnya proposal-proposal tambahan ini, Haris selaku perwakilan Pemerintah mengaku tidak bisa menolak untuk tidak membahasnya. Haris merasa mungkin saja proposal tersebut sebenarnya juga sudah dikirimkan pihak universitas ke Dikti, namun belum sampai.
Pada akhirnya, lanjut Haris, tidak semua usulan yang diajukan melalui anggota Komisi X itu diterima. Hanya proposal dari universitas yang dianggap masuk dalam prioritas Kemendiknas yang kemudian dibahas lebih lanjut anggarannya.
Dia mengatakan, salah satu proposal yang diterima adalah pengajuan dari Universitas Cendana di Nusa Tenggara Timur. Setelah dibahas dalam RDP, nilai anggaran untuk universitas tersebut bertambah dari semula Rp 15 miliar menjadi Rp 50 miliar, lalu bertambah lagi menjadi Rp 70 miliar. “Itu dari proposal yang diajukan anggota Komisi X,” katanya.
Meskipun tidak menyebut nama anggota DPR yang mengajukan usulan universitas tersebut, dalam keterangan sebelumnya Haris mengungkapkan kalau Angie menitipkan kepadanya agar lebih memerhatikan universitas di daerah Indonesia Timur. Haris juga mengatakan kalau pengajuan proposal tambahan oleh anggota Komisi X DPR itu tidak sesuai dengan batas waktu yang ditentukan. “Pada faktanya kami dalam RDP itu dilonggarkan. Batasnya Februari, masuknya April,” ujar Haris.
Dalam kasus ini, Angelina didakwa menerima pemberian atau janji berupa uang senilai total Rp 12 miliar dan 2.350.000 dollar AS (Rp 21 miliar) dari Grup Permai. Pemberian uang tersebut, menurut jaksa, diketahui Angelina sebagai commitment fee atau imbalan atas upaya penggiringan anggaran proyek. Adapun yang dimaksud dengan menggiring anggaran adalah mengupayakan agar nilai anggaran dan program pengadaan dapat disesuaikan dengan permintaan Grup Permai.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.