JAKARTA, KOMPAS.com - Pidato Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, yang disampaikan setelah reaksi keras masyarakat terkait penanganan kasus korupsi di tubuh Polri, kembali menuai kritik. Isi pidato pun dipertanyakan.
Presiden dinilai malah memangkas kewenangan KPK, dan melokalisasi pada satu kasus korupsi.
Hal ini disampaikan Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane, budayawan Ratna Sarumpaet, serta aktivis seperti Beathor Suryadi, Adian Napitupulu, Mustar Bonaventura, Parikesit, Roy Simanjuntak, dan Salamudin Daeng, dalam diskusi tentang Kasus KPK vs Polri dan Pidato SBY, Selasa (9/10/2012) di Jakarta.
Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Senin (8/10/2012) malam dinilai janggal, karena menyerahkan penanganan kasus korupsi simulator SIM kepada KPK, tetapi terkait pengadaan barang lain tetap di kepolisian.
"Korupsi pengadaan barang tentu melibatkan jenderal-jenderal di kepolisian. Bagaimana mungkin yuniornya menyidik para jenderal itu. Apa maksud SBY mengatakan itu," tutur Neta.
Padahal, IPW menemukan beberapa kasus dugaan korupsi terkait pengadaan barang di tubuh Polri, dan semestinya disidik KPK.
Neta menyebutkan beberapa kasus. Proyek DRC (Disaster Recovery Center) senilai Rp 139 miliar, dinilai pembangunan pusat basis data di kawasan rawan gempa di Lembang, serta pengadaan 700 mobil patroli.
Selain itu, polisi banyak mengadakan proyek-proyek yang dibiayai dana hibah dari pengusaha-pengusaha, seperti proyek Dormitory Paramartha di Akademi Kepolisian yang sampai sekarang belum terlaksana, kendati dana sudah terkumpul Rp 60 miliar. Selain itu, pembangunan lapangan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian senilai Rp 7 miliar.
Adian menambahkan, lokalisir kasus dugaan korupsi simulator SIM kepada KPK, menimbulkan dugaan adanya barter kasus. Sebab, kasus seperti rekening gendut polisi yang mencapai Rp 8,6 triliun menjadi tidak tersentuh. Apalagi, di setiap lembaga, korupsi terbesar jelas terdapat pada pengadaan barang dan jasa.
"Bahasa (Presiden) sangat vulgar dan tidak perlu diterjemahkan lagi," ujarnya.
Ratna juga menilai Presiden hanya membagi-bagi jatah penanganan korupsi. Namun, pidato sama sekali tidak ada menyentuh persoalan mendasar yaitu personel penegak hukum yang tidak independen.
Roy Simanjuntak mengingatkan, hiruk-pikuk perseteruan KPK-Polri jangan sampai melupakan kasus Century dengan kerugian negara Rp 6,7 triliun, dan megakorupsi lain yang masih menggantung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.