JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus dugaan korupsi yang melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Wa Ode Nurhayati merupakan kasus pertama Komisi Pemberantasan Korupsi menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam satu berkas dakwaan dengan perkara kasus dugaan penerimaan suap. Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, keputusan majelis hakim yang mengadili perkara ini nantinya akan menjadi yurisprudensi bagi KPK menggunakan pasal TPPU dalam kasus lainnya.
"Tuntutan ini adalah terobosan kita menggunakan dua pasal, pasal tipikor dan TPPU. Ini pertama kali digunakan oleh KPK," kata Johan di Jakarta, Selasa (2/10/2012).
Dia menanggapi tuntutan tim jaksa penuntut umum KPK yang meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor menghukum Wa Ode empat tahun penjara untuk kasus penerimaan suapnya dan 10 tahun penjara untuk kasus pencucian uang.
Tim jaksa KPK menilai Wa Ode terbukti menerima pemberian uang Rp 6,25 miliar dari tiga pengusaha, yakni Fahd El Fouz, Paul Nelwan, dan Abram Noch Mambu melalui Haris Surahman. Pemberian tersebut terkait dengan upaya Wa Ode selaku anggota Panita Kerja Tranfer Daerah Badan Anggaran DPR dalam mengupayakan kabupaten Aceh Besar, Pidie Jaya, Bener Meriah, dan Minahasa sebagai penerima anggaran DPID.
Adapun uang Rp 6,25 miliar dari Fahd tersebut merupakan bagian dari Rp 50,5 miliar yang disimpan dalam rekening pribadi Wa Ode di Bank Mandiri. Dalam kurun waktu Oktober 2010 sampai September 2011, Wa Ode melakukan beberapa kali transaksi uang masuk ke rekening Bank Mandiri KCP DPR RI yang seluruhnya berjumlah Rp 50,5 miliar.
Uang tersebut, menurut jaksa, kemudian disembunyikan asal usulnya dengan dintransfer, dialihkan, dibelanjakan, dan digunakan sebagai pembayaran keperluan pribadi. Menurut Johan, KPK ke depannya akan kembali menggunakan pasal TPPU sepanjang ada dua alat bukti yang cukup. Hal itu dilakukan KPK dalam rangka mengembalikan kerugian negara sebesar-besarnya.
"Sehingga upaya tindakan yang dilakukan KPK tidak hanya secara fisik tapi juga berusaha mengembalikan uang negara sebesar-besarnya," ujar Johan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.