Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Publik Menolak Pelemahan KPK

Kompas.com - 01/10/2012, 09:22 WIB

Oleh SULTANI

Meskipun belum berhasil membabat habis korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai publik tetap merupakan alat paling efektif memberantas korupsi saat ini. Oleh karena itu, publik menolak berbagai upaya untuk membonsai kewenangannya.

Sejak dibentuk pada Desember 2003, KPK diharapkan menjadi senjata ampuh untuk memberantas korupsi di negeri ini. Puluhan aparat birokrasi, politisi, dan pihak swasta pelaku korupsi telah diganjar bui oleh lembaga ini. Kiprah KPK pun diapresiasi publik. Citra positif melekat di tubuhnya. Hasil jajak pendapat Kompas di 12 kota pekan lalu tetap memperlihatkan penilaian tersebut. Sebanyak 71,7 persen responden jajak pendapat memberi penilaian positif terhadap KPK.

Meskipun demikian, publik menyadari ”taring” tajam KPK belum berhasil memberi efek gentar pada para koruptor. Fenomena ”hilang satu tumbuh seribu” di kalangan koruptor dinilai makin nyata oleh publik. Tiga perempat bagian respon- den jajak pendapat memperkuat penilaian itu. Mereka belum sepenuhnya yakin sepak terjang KPK bisa memberantas korupsi hingga ke akarnya.

Pelemahan

Hampir satu dasawarsa berlangsung, di tengah keseriusan KPK mengganjar para koruptor, muncul penilaian bahwa KPK telanjur menjadi lembaga superbodi yang memiliki kewenangan hampir tidak terbatas. Karena itu, sejumlah pihak melakukan langkah-langkah untuk membonsai kewenangannya.

DPR dan kepolisian merupakan dua institusi yang akhir-akhir ini secara kasatmata tidak mendukung keberadaan lembaga itu. Alih-alih memperkuat, keduanya justru berusaha melemahkan lembaga antirasuah itu. Melalui upaya merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, para politisi Senayan kembali berupaya memangkas taring-taring tajam kewenangan KPK. Wewenang itu adalah penyadapan dan penuntutan.

Sejumlah pihak menilai, upaya itu adalah jalan masuk untuk melumpuhkan KPK. Aktivis Indonesia Corruption Watch, Danang Widoyoko, bahkan menilai revisi itu merupakan bentuk tindakan balas dendam DPR kepada KPK setelah banyak anggotanya yang korupsi diseret ke meja hijau (Kompas, 25/9/2012).

Langkah pelemahan KPK ternyata tidak dimotori oleh DPR saja, tetapi juga oleh Polri. Indikasi tersebut menguat saat KPK berupaya membongkar praktik korupsi dalam proyek pengadaan simulator kendaraan bermotor di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Ketika diminta memilih mana yang lebih bisa dipercaya publik dalam menuntaskan kasus Korlantas, sebanyak 76,5 persen responden memilih KPK.

Seperti sudah diduga, Polri kemudian bereaksi seperti ”mengabaikan” perintah undang-undang untuk menyerahkan penyidikan kasus kepada KPK. Alih-alih menjadi mitra dalam memberantas korupsi, kepolisian justru tampak menempatkan diri sebagai pesaing yang mengganggu kerja KPK. Indikasi lain juga tampak dari keputusan Mabes Polri menarik puluhan penyidiknya dari KPK. Sebanyak 69 persen responden menilai langkah menyidik sendiri kasus Korlantas oleh Polri sebagai pelemahan KPK.

Sebagaimana hasil jajak pendapat tahun sebelumnya, publik menolak upaya penggembosan KPK. Mayoritas responden jajak pendapat ini menolak langkah DPR menghapus kewenangan penuntutan yang dimiliki KPK.

Retorika

Di samping retorika pemberantasan korupsi yang didengungkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan jajarannya, beberapa peristiwa memberi petunjuk sikap pemerintah yang bertentangan. Kebijakan pemberian remisi kepada koruptor merupakan penanda pelemahan pemberantasan korupsi.

Meskipun pemerintah memiliki hak untuk mengurangi masa tahanan narapidana, dalam praktiknya pemerintah cenderung memberikan remisi lebih banyak kepada koruptor. Dalam catatan Litbang Kompas, banyak koruptor yang menjalani masa tahanan lebih cepat dibanding hukuman yang dijatuhkan sebagai akibat dari remisi itu.

Bagi publik jajak pendapat ini, pemberian remisi kepada koruptor sangat menguntungkan sehingga misi KPK memenjarakan mereka dengan masa tahanan yang lebih lama menjadi mentah. Mayoritas (86,4 persen) responden setuju jika remisi kepada koruptor bisa memperlemah upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.

Retorika jajaran pemerintah ditangkap publik melalui penilaian terhadap peradilan korupsi selama ini. Dari catatan Litbang Kompas, sepanjang 2011 pengadilan tindak pidana korupsi membebaskan lebih dari 20 terdakwa koruptor, terdiri dari kepala daerah, anggota DPRD, dan swasta.

Vonis itu bukan saja meruntuhkan kerja penyidikan KPK, tetapi lebih dari itu telah melukai rasa keadilan masyarakat. Hampir seluruh responden sepakat, pemberian vonis bebas kepada koruptor merupakan langkah memperlemah kinerja KPK. Demikian pula tuntutan hukuman yang sangat ringan oleh jaksa pengadilan tipikor.

Gambaran di atas memperkuat keyakinan publik bahwa baik pemerintah maupun DPR sama-sama tidak serius memperkuat kinerja KPK. Bahkan secara khusus, publik survei ini menyebutkan, partai penguasa saat ini yang paling gencar berusaha melemahkan KPK. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga topik "Revisi UU KPK"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Penetapan Prabowo di KPU: Mesra dengan Anies hingga Malu-malu Titiek Jadi Ibu Negara

    Penetapan Prabowo di KPU: Mesra dengan Anies hingga Malu-malu Titiek Jadi Ibu Negara

    Nasional
    Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

    Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

    Nasional
    Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

    Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

    Nasional
    Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

    Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

    Nasional
    Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

    Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

    Nasional
    Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

    Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

    Nasional
    2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

    2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

    Nasional
    Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

    Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

    Nasional
    [POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

    [POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

    Nasional
    Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

    Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

    Nasional
    Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

    Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

    Nasional
    Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

    Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

    Nasional
    Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

    Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

    Nasional
    Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

    Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

    Nasional
    AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

    AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com