JAKARTA, KOMPAS.com - Pengaturan mekanisme penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi versi DPR RI dinilai akan menimbulkan berbagai masalah jika direalisasikan. Aturan itu hanya akan menganggu kerja KPK ketika mengusut kasus korupsi.
Penilaian itu disampaikan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Dimyati Natakusuma, aktivis Indonesia Corruption Watch Emerson Yunto, dan praktisi hukum Petrus Salestinus saat diskusi di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/9/2012).
Ketiganya menyikapi pengaturan mekanisme penyadapan yang tertuang dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Draf usulan Komisi III itu tengah dibahas di Baleg.
Dalam draf disebutkan sejumlah persyaratan penyadapan, salah satunya meminta izin ketua pengadilan negeri. Adapun dalam UU KPK saat ini, tidak diatur mekanisme penyadapan.
Emerson mempertanyakan bagaimana meminta izin jika orang yang ingin disadap adalah ketua pengadilan negeri. Lalu, bagaimana jika penyadapan dilakukan ketika pengadilan libur seperti di hari Minggu.
Dimyati mempertanyakan bagaimana jika orang yang akan disadap tengah dalam perjalanan. "Misalnya orangnya di dalam kereta dari Jakarta mau ke Yogyakarta. Minta izin ke pengadilan negeri yang mana?," kata dia.
Petrus menyinggung banyaknya pihak yang tertangkap tangan tengah melakukan proses suap atau menerima suap berdasarkan hasil penyadapan. Jika harus mendapat izin pengadilan negeri terlebih dulu, dia mengkhawatirkan informasi penyelidikan akan bocor.
"Kalau mesti perlu izin, DPR sedang buat skenario penyadapan ditiadakan. Siapa yang berkepentingan? Menurut saya ini instruksi pimpinan-pimpinan partai," pungkas Petrus.
Berita terkait wacana revisi UU KPK ini dapat diikuti dalam "Revisi UU KPK"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.