Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kusutnya Keagrariaan Kita

Kompas.com - 25/09/2012, 03:46 WIB

Oleh Idham Arsyad

Tanggal 24 September 2012 kaum tani di Indonesia kembali memperingati Hari Tani Nasional sekaligus hari lahirnya UU Pokok Agraria (UU No 5/1960).

Namun, meski sudah berganti abad, masalah-masalah agraria tak kunjung teratasi. Kemiskinan, pengangguran, konflik, dan proletarisasi petani masih terus mewarnai wajah pedesaan kita sampai hari ini.

Sejak Presiden Soekarno lengser, agenda reforma agraria juga terhenti. Akibatnya, ketimpangan agraria makin tajam dan konflik agraria meletus di mana-mana. Konsentrasi penguasaan tanah pun menunjukkan dalamnya ketidakadilan. Winoto (2010) menyebutkan hanya 0,2 persen penduduk negeri ini menguasai 56 persen aset produktif dan 87 persen dalam bentuk tanah.

Ketimpangan pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah terjadi hampir di semua sektor. Di kehutanan, terdapat 531 izin hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI). Luasnya mencapai 35,8 juta hektar, hanya dikuasai puluhan konglomerat nasional dan asing. Sementara ada 57 izin pengelolaan hutan oleh masyarakat dengan luas cuma 0,25 juta hektar. Artinya, hanya 0,19 persen masyarakat pedesaan mendapatkan akses secara legal atas kawasan hutan (M Sirait, 2012).

Di perkebunan, dari 11,5 juta hektar luas lahan sawit, 52 persen milik swasta, 11,69 persen milik perusahaan negara. Perkebunan rakyat hanya 35,56 persen. Di pertambangan, Jaringan Tambang (Jatam, 2010) mencatat, sejak 1998-2010 hampir 8.000 perizinan tambang dikeluarkan dan 3 juta hektar kawasan lindung beralih fungsi jadi tambang.

Ketimpangan juga terjadi di sektor kelautan. Lebih dari 20 pulau telah dikavling orang dan badan hukum asing untuk industri pariwisata. Sekitar 50.000 hektar konsesi budidaya di bawah penguasaan asing. Sekitar 1 juta hektar ekosistem pesisir sudah dikonversi untuk perluasan perkebunan sawit dan pembangunan reklamasi pantai.

Potret ketimpangan kian nyata bila dibandingkan penggunaan lahan untuk sektor pertanian. Berdasarkan data BPS (2003), dari 37,7 juta rumah tangga petani hanya menggunakan lahan pertanian 21,5 juta hektar. Akibatnya, jumlah petani gurem dan petani tak bertanah semakin tinggi. Saat ini, dari 37,7 juta rumah tangga petani, 36 persen petani tak bertanah, 24,3 juta yang menguasai tanah rata-rata 0,89 hektar per rumah tangga.

Ketimpangan agraria mengakibatkan diferensiasi penduduk pedesaan semakin meruncing. Terjadi penggolongan dan pelapisan sosial di masyarakat berdasarkan pemilikan dan penggunaan tanah. Polarisasi ekonomi pun tak terhindarkan.

Proletarisasi petani

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com