Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Daur Ulang Teror

Kompas.com - 12/09/2012, 17:20 WIB

 

Oleh Noor Huda Ismail

KOMPAS.com - Rentetan aksi teror baru-baru ini membuat kita semua bertanya: apa yang salah dari penanganan terorisme di Indonesia?

Bukankah tidak kurang dari 600 tersangka teroris telah ditangkap aparat dan mereka ini telah diproses secara hukum dengan terbuka? Apakah memang kita sedang berhadapan dengan Hydra, sebuah monster dalam mitos Yunani yang berkepala banyak dan jika dipotong salah satu kepalanya akan muncul kepala baru lagi?

Menurut hemat penulis, penanganan terorisme di Indonesia selama ini lebih berkutat pada dua aspek kerja, yaitu kerja intelijen yang menekankan pada who does what (siapa melakukan apa) dan law of enforcement (penegakan hukum). Namun, negara sampai hari ini masih sangat kedodoran dalam dua hal. Pertama, dalam hal tindakan yang bersifat preventif (pencegahan) terkait pemahaman akan why and how (kenapa dan bagaimana) sebuah aksi teror itu muncul.

Tindakan pencegahan ini terasa sangat minim terhadap kalangan anak-anak muda yang masuk dalam kategori at risk groups (kelompok berisiko) seperti anak-anak yang terlahir di wilayah konflik atau anak dari mantan kombatan yang cenderung mengafirmasi kekerasan. Dalam usia yang sangat muda ini pada hakikatnya mereka dalam masa pembentukan jati diri. Mereka masih labil dan mudah terpengaruh lingkungan di mana mereka tumbuh dan berkembang.

Kasus terlibatnya Farhan (19) dan Bayu (16) dalam tindak pidana terorisme adalah contoh nyata kegagalan negara menyentuh kalangan ini dan memberikan alternatif pilihan bagi para anak muda ini. Tak berlebihan jika dikatakan, kedua anak ini hanya fenomena puncak dari gunung es untuk menggambarkan betapa rentannya anak muda untuk terjebak dalam doktrin kekerasan.

Jika negara terus saja mengedepankan aspek represif dan arogan dalam penindakan terorisme, akan masih banyak ”Farhan-Farhan” lain yang berada di kaki gunung es ini yang setiap saat bisa muncul. Filsuf Jerman, Frederick Nietzhe, mengingatkan: ”Barang siapa yang berperang melawan monster, hendaknya mereka dapat menahan diri untuk tidak menjadi monster itu sendiri”.

Kedua, negara masih belum maksimal dalam hal aspek kuratif (penyembuhan) bagi para mantan aktor kekerasan baik itu tindak pidana terorisme atau konflik komunal seperti Ambon dan Poso. Pendekatan kepada mereka ini didasarkan pada pemahaman bahwa tak ada orang yang terlahir sebagai aktor kekerasan, tetapi mereka terlibat dalam aksi kekerasan karena sebuah proses pengenalan akan kekerasan, mulai terlibat (get involved) dan akhirnya meninggalkan aksi kekerasan (disengage). (Baca: Walking Away from Terrorism, John Horgan, 2009).

Lagi pula, dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, jumlah mereka ini sesungguhnya sangatlah kecil. Dengan demikian, memahami dinamika individu dari tiap aktor ini masih memungkinkan dilakukan oleh negara secara sistematis dan berkala karena setiap individu pelaku aksi kekerasan punya tingkat radikalisasi dan keterlibatan yang berbeda-beda.

Meluruskan konsep jihad

Kegamangan negara melakukan kedua aspek kerja preventif dan kuratif akan menghadapkan kita pada potensi daur ulang kekerasan di kemudian hari. Kenapa demikian? Karena bagi kelompok ini, orang yang pernah terlibat tindak pidana teroris atau konflik, ”kasta” sosialnya justru naik. Mereka dianggap melaksanakan jihad secara nyata. Mereka jadi panutan dan idola.

Tidak jarang justru para tahanan teroris ini mendapatkan tawaran istri ketika mereka masih di dalam penjara. Istri mereka bukanlah dari kalangan marginal baik secara ekonomi maupun pendidikan. Mereka ada yang sarjana bahasa Inggris, dokter, atau bahkan aktivis LSM.

Oleh karena itu, meluruskan konsep jihad bagi kelompok ini tidaklah mudah. Seperti tergambarkan dari sebuah inisiatif negara melalui seorang profesor psikologi dari UI yang pernah mengumpulkan para mantan kombatan untuk berdiskusi dengan seorang ulama ternama di Indonesia.

Forum ini dimaksudkan untuk menjelaskan makna jihad kepada mereka. Sebelum acara dimulai, salah satu kombatan bertanya kepada sang ulama: ”Di manakah Anda ketika konflik Ambon dan Poso? Di mana Anda ketika umat Islam di Moro dibantai?”

Sang ulama tak menjawab karena ia memang tak pernah terlibat dalam konflik-konflik tersebut. ”Jangan bicara jihad apalagi menyalahkan jihad kami jika Anda belum pernah berjihad,” kata mereka.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

    Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

    Nasional
    AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

    AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

    Nasional
    Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

    Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

    Nasional
    Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

    Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

    Nasional
    Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

    Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

    Nasional
    Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

    Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

    Nasional
    AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum 'Clear', Masih Dihuni Warga

    AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum "Clear", Masih Dihuni Warga

    Nasional
    Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

    Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

    Nasional
    Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

    Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

    Nasional
    PKS Jajaki Komunikasi dengan Prabowo

    PKS Jajaki Komunikasi dengan Prabowo

    Nasional
    Dewas Harap Wakil Ketua KPK Laporkan Albertina Ho Bukan karena Sedang Tersangkut Kasus Etik

    Dewas Harap Wakil Ketua KPK Laporkan Albertina Ho Bukan karena Sedang Tersangkut Kasus Etik

    Nasional
    Wapres Ma'ruf Amin Tak Titip Program Tertentu untuk Dilanjutkan Gibran

    Wapres Ma'ruf Amin Tak Titip Program Tertentu untuk Dilanjutkan Gibran

    Nasional
    Gibran Minta Petuah Saat Sowan ke Wapres Ma'fuf Amin

    Gibran Minta Petuah Saat Sowan ke Wapres Ma'fuf Amin

    Nasional
    Tantang PDI-P Tarik Semua Menteri Usai Sebut Jokowi Bukan Kader Lagi, TKN: Daripada Capek-capek PTUN

    Tantang PDI-P Tarik Semua Menteri Usai Sebut Jokowi Bukan Kader Lagi, TKN: Daripada Capek-capek PTUN

    Nasional
    Relaksasi HET Beras Premium Diperpanjang hingga 31 Mei 2024

    Relaksasi HET Beras Premium Diperpanjang hingga 31 Mei 2024

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com