JAKARTA, KOMPAS.com - Keberadaan mafia dalam sistem peradilan di Indonesia sebenarnya merupakan masalah klasik yang sudah ada bahkan sejak 40 tahun yang lalu. Meskipun menjangkiti peradilan sejak puluhan tahun, namun kondisi ini tak membaik dan bahkan kian memburuk dari waktu ke waktu.
Pendapat tersebut diungkapkan oleh praktisi hukum senior, Mohammad Assegaf, Rabu (22/8/2012) petang.
"Siapa yang melontarkan istilah mafia peradilan 40 atau 50 tahun lalu. Waktu saya aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pada 1971, Yap Thiam Hiem sudah teriak-teriak mengenai mafia ini. Saat itu, keberadaan mafia peradilan ini dibantah oleh Sudomo (salah satu menteri pada zaman Soeharto—red) yang mengungkapkan mafia cuma ada di Italia," ungkap Assegaf dalam perbincangan dengan Kompas.
Assegaf mengungkapkan, kondisi ini sudah menghinggapi aparat penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim maupun pengacara. "Cuma kita ini kan selalu mengatakan bahwa pengadilan adalah benteng yang terakhir. Pengacara boleh nyogok, jaksa juga boleh, tapi kalau bentengnya kokoh, ya tidak masalah. Misalnya saja saya datang ke hakim mau mengatur perkara, tetapi saya diusir dan dimaki-maki. Lalu hakim ini mengumumkan bahwa pengacara ini berusaha menyogok. Kan habis juga nama si pengacara. Betapa hebatnya hal tersebut. Yang perlu diperkokoh memang hakimnya, karena hakim adalah tempat mencari keadilan," ungkap Assegaf.
Lelaki yang sudah beracara lebih dari 40 tahun itu mengungkapkan, memang terdapat persoalan etika yang diidap para pengacara. Meskipun demikian, ia masih memercayai bahwa jumlah advokat yang baik dan bermoral juga masih relatif banyak.
Terkait dengan peristiwa terakhir yaitu penangkapan dua hakim ad hoc Tipikor oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Assegaf menilai hal tersebut tidak akan terjadi apabila penjaringan hakim ad hoc dilakukan secara ketat dengan mengedepankan moral para calon selain segi keilmuan. Kerja pemberantasan korupsi oleh pengadilan Tipikor akan layak diapresiasi tanpa peduli seberapa banyak mantan advokat yang menjadi hakim ad hoc tipikor.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.