Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menelisik Kegunaan Simulator Kemudi Korlantas Polri

Kompas.com - 01/08/2012, 10:49 WIB
Sabrina Asril

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah menyidik kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan alat simulator kemudi mobil dan motor yang dilakukan Korps Lalu Lintas Polri (Korlantas Polri). Alat yang belakangan ini heboh dibicarakan itu sebenarnya didistribusikan ke tiap kepolisian daerah. Salah satu yang kali pertama memiliki simulator kemudi itu adalah Polda Metro Jaya.

Menurut Inspektur Satu Sugiran, Perwira Urusan Simulator Ditlantas Polda Metro Jaya, simulator itu terletak di Satpas Surat Izin Mengemudi (SIM) yang ada di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. "Yang pertama itu simulator untuk mobil. Simulator ini digunakan dalam pelaksanaan ujian teori untuk mendapatkan SIM A umum, B1 umum, dan B2 umum," ujar Sugiran, Selasa (30/7/2012) malam, saat dihubungi wartawan.

Ia menuturkan, alat-alat itu sudah ada sejak tahun 2009. Adapun simulator sepeda motor, lanjutnya, baru diberikan Polri pada tahun 2012. Polda Metro Jaya mendapat 23 simulator kemudi mobil dan 19 simulator kemudi motor. Namun, yang saat ini baru dipakai adalah simulator kemudi mobil. Simulator kemudi motor masih belum digunakan karena masih banyak kepolisian daerah (polda) yang belum mendapatkan alat tersebut.

"Polda Metro yang memulai pertama karena di sini yang jadi barometer bagi polda-polda lainnya," ujarnya.

Simulator kemudi mobil, kata Sugiran, hingga kini masih dalam kondisi prima dan selalu digunakan dalam ujian teori permohonan SIM. Ia mengatakan, keberadaan simulator sangat bermanfaat untuk menentukan kompetensi seseorang dalam berkendara. "Selama ini orang maunya instan. Merasa bisa nyetir, langsung mau buat SIM. Padahal, untuk menyetir juga harus paham teori. Ini akan memberi efek saat terjun ke kondisi jalan sebenarnya," ucap Sugiran.

Empat aspek ujian

Dia mengatakan ada empat aspek yang diuji menggunakan simulator kemudi mobil, yakni aspek reaksi, aspek antisipasi, aspek konsentrasi, aspek sikap, dan aspek perilaku pengemudi. "Misalnya, kalau dalam keadaan cepat terus ada orang menyeberang, harus bagaimana mengeremnya. Di layar itu ada sistem pengeremannya," tutur Sugiran.

Masyarakat yang ingin memiliki SIM, lanjutnya, harus memperoleh nilai minimal 60. "Salah sedikit saja, dikurangi 10 poin," imbuh Sugiran.

Adapun simulator kemudi sepeda motor saat ini baru tersedia sepeda motor untuk laki-laki. Rencananya, tahun ini, simulator kemudi sepeda motor untuk perempuan juga akan diberikan Korlantas Polri. Alat tersebut nantinya akan menguji peserta ujian ke dalam enam bagian, yakni swallon test (berjalan zig-zag), trikana (berjalan membentuk angka 8), sistem pengereman, berjalan membuat V di ujung jalan, membuat letter U, menaiki jembatan, dan jalan lambat lalu mengerem.

Peserta ujian yang lolos tes uji simulator itu ternyata harus membayar iuran. Hal ini dibenarkan Sugiran. "Bayar Rp 50.000, tapi ini masuk ke dalam kas negara yang masuk ke dalam pendapatan negara bukan pajak (PNBP)," ucap Sugiran.

Setelah lulus dan menyelesaikan administrasi, peserta harus menjalani tes berikutnya, yakni ujian praktik. Terkait hebohnya kasus korupsi simulator kemudi ini, Sugiran mengaku tak tahu-menahu.

"Kami hanya menerima alat dari Polri dan melaksanakannya. Enggak tahu kalau soal pengadaan. Polda enggak ikutan," pungkasnya.

Sebelumnya, KPK mengusut kasus dugaan proyek korupsi pengadaan simulator kemudi motor dan mobil di Korlantas Mabes Polri tahun anggaran 2011 sejak Januari 2012. KPK menemukan indikasi kerugian negara dalam proyek pengadaan senilai Rp 190 miliar tersebut. Kerugian negara dalam proyek pengadaan yang ditangani Polri itu diduga Rp 90 miliar hingga Rp 100 miliar.

Sejak 27 Juli 2012, KPK resmi meningkatkan kasus tersebut ke tahap penyidikan dengan tersangka mantan Kepala Korlantas Polri Irjen (Pol) Djoko Susilo. Perwira tinggi polisi yang kini menjabat Gubernur Akpol itu diduga melanggar Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 UU Pemberantasan dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 20 tahun serta denda paling banyak Rp 1 miliar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com