Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sistem Presidensial Tidak Mengenal Koalisi

Kompas.com - 18/07/2012, 20:00 WIB
Elok Dyah Messwati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com -- Pengorganisasian partai-partai yang berkoalisi ke dalam sekretariat gabungan dimaksudkan agar kekuatan politik yang dominan mudah diorganisasi. Namun upaya ini gagal untuk mewujudkan kekuatan politik dominan yang bisa memerintah secara efektif.

"Alih-alih dimaksudkan untuk membangun agenda pemerintahan bersama, koalisi justru hanya ingin digunakan untuk mencari dukungan mayoritas di parlemen. Karena bertumpu pada sistem presidensial, tetap saja yang menjadi penentu kebijakan adalah presiden," kata Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Bachtiar Effendi pada perkenalan Institut Peradaban dan seminar politik bertajuk Disharmoni Hubungan Presiden dengan DPR, Rabu (18/7/2012) di Jakarta.

Dalam sistem ini, kebijakan atau agenda pemerintahan tidak pernah menjadi sesuatu yang digagas, dirumuskan, dan dilaksanakan bersama oleh koalisi. Kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) misalnya, tetap saja hal itu merupakan inisiatif presiden yang belum tentu disetujui atau didukung oleh partai-partai yang tergabung dalam koalisi.

Menurut Bachtiar, kesalahan paling elementer dari penggagas koalisi ini adalah bahwa sistem presidensial tidak mengenal koalisi. Pemerintahan presidensial hanya akan berjalan efektif jika jumlah partai terbatas—misal dua partai seperti di Amerika Serikat. Dengan jumlah partai yang sedikit itu, kemungkinan menghadirkan kekuatan politik yang dominan lebih besar.

Sebenarnya ide untuk membangun koalisi sebagaimana disinggung di atas bukanlah sesuatu yang serta merta jelek. Akan tetapi, koalisi mengesankan sesuatu yang dipaksakan secara maksimal sehingga menjadi sulit dikelola.

"Jika saja pemerintahan puas dengan koalisi mayoritas sederhana (50 persen plus), tidak bakal banyak partai yang bakal diajak bergabung. Dapat dipastikan, pilihan ini akan lebih mudah untuk dikekola," kata Bachtiar.

Langkah seperti ini, membangun koalisi mayoritas sederhana di dalam sistem presidensial dengan banyak partai, mungkin saja bisa mengatasi diskordansi yang terjadi. Akan tetapi, hal itu harus dianggap sebagai jalan keluar yang bersifat sementara.

"Pembangunan politik hendaknya tetap diarahkan pada pengurangan jumlah partai, kecuali kita bersedia beralih pada sistem pemerintahan parlementer," tuturnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PAN Yakin Prabowo-Gibran Bakal Bangun Kabinet Zaken

PAN Yakin Prabowo-Gibran Bakal Bangun Kabinet Zaken

Nasional
Puan Lantik 3 Srikandi Anggota PAW dari Fraksi P-Nasdem, PPP, dan PKB

Puan Lantik 3 Srikandi Anggota PAW dari Fraksi P-Nasdem, PPP, dan PKB

Nasional
Jokowi Gelar Bukber di Istana, Wapres Singgung soal Kendalikan Nafsu Saat Berikan Tausiyah

Jokowi Gelar Bukber di Istana, Wapres Singgung soal Kendalikan Nafsu Saat Berikan Tausiyah

Nasional
Misi Kemanusiaan di Palestina, Fadli Zon Harap Kerja Sama Lembaga Zakat Indonesia-UNRWA Segera Dibentuk

Misi Kemanusiaan di Palestina, Fadli Zon Harap Kerja Sama Lembaga Zakat Indonesia-UNRWA Segera Dibentuk

Nasional
Soal Pemilu Ulang Bisa Timbulkan Krisis, Kubu Ganjar-Mahfud: Alasan Mengada-ada

Soal Pemilu Ulang Bisa Timbulkan Krisis, Kubu Ganjar-Mahfud: Alasan Mengada-ada

Nasional
DPR Setujui Perpanjangan Waktu Pembahasan RUU KIA, Puan Ungkap Alasannya

DPR Setujui Perpanjangan Waktu Pembahasan RUU KIA, Puan Ungkap Alasannya

Nasional
Arus Mudik Lebaran 2024 Diperkirakan Melonjak, Komisi V DPR Minta Kemenhub Serius Siapkan Kelaikan Angkutan Umum

Arus Mudik Lebaran 2024 Diperkirakan Melonjak, Komisi V DPR Minta Kemenhub Serius Siapkan Kelaikan Angkutan Umum

Nasional
Yakin MK Tolak Gugatan Anies dan Ganjar, TKN: Gugatannya Tidak Masuk Akal

Yakin MK Tolak Gugatan Anies dan Ganjar, TKN: Gugatannya Tidak Masuk Akal

Nasional
Kemenko Polhukam Identifikasi 1.900 Mahasiswa Jadi Korban TPPO Bermodus 'Ferienjob' di Jerman

Kemenko Polhukam Identifikasi 1.900 Mahasiswa Jadi Korban TPPO Bermodus "Ferienjob" di Jerman

Nasional
Lewat Telepon, Putra Mahkota Abu Dhabi Ucapkan Selamat ke Gibran

Lewat Telepon, Putra Mahkota Abu Dhabi Ucapkan Selamat ke Gibran

Nasional
Cerita soal Saham Freeport, Jokowi: Seperti Tak Ada yang Dukung, Malah Sebagian Mem-'bully'

Cerita soal Saham Freeport, Jokowi: Seperti Tak Ada yang Dukung, Malah Sebagian Mem-"bully"

Nasional
Akui Negosiasi Alot, Jokowi Yakin Indonesia Bisa Dapatkan 61 Persen Saham Freeport

Akui Negosiasi Alot, Jokowi Yakin Indonesia Bisa Dapatkan 61 Persen Saham Freeport

Nasional
Kubu Ganjar-Mahfud Tolak Gugatan ke MK Disebut Salah Alamat oleh KPU

Kubu Ganjar-Mahfud Tolak Gugatan ke MK Disebut Salah Alamat oleh KPU

Nasional
Jokowi Gelar Buka Puasa di Istana, 2 Menteri PDI-P Tak Tampak

Jokowi Gelar Buka Puasa di Istana, 2 Menteri PDI-P Tak Tampak

Nasional
Polisi Tangkap 5 Tersangka Pengoplos BBM Pertalite Jadi Pertamax

Polisi Tangkap 5 Tersangka Pengoplos BBM Pertalite Jadi Pertamax

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com