Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menimbang Calon Presiden

Kompas.com - 16/07/2012, 02:13 WIB

Salahuddin Wahid

Menarik menyimak langkah Partai Golkar yang sigap dan sudah mendeklarasikan Aburizal Bakrie sebagai calon presiden dalam Pemilihan Presiden 2014, dua tahun sebelum pilpres itu sendiri berlangsung.

Pada 2004, Wiranto dan Salahuddin Wahid mendeklarasikan diri tak sampai dua bulan sebelum pilpres berlangsung. Deklarasi Jusuf Kalla dan Wiranto (2009) juga demikian. Hal lain yang membedakan, deklarasi saat ini hanya menampilkan capres, sedangkan deklarasi 2004 dan 2009 sudah menampilkan dua nama: capres dan cawapres. Cawapres Partai Golkar 2014 akan dipilih dari sejumlah nama, yaitu Sultan Hamengku Buwono X, Jenderal Pramono Edhie, Ibas, Mahfud MD, Khofifah. Deklarasi saat ini juga lebih semarak dibandingkan 2004 dan 2009.

Tentu wajar kalau timbul pertanyaan mengapa deklarasi capres Partai Golkar itu harus dilakukan tergesa-gesa, seperti ada sesuatu yang dikejar, padahal pilpres masih dua tahun lagi. Apa sesuatu yang dikejar itu? Jawaban yang masuk akal ialah memberi waktu yang amat panjang bagi sang capres untuk memperkenalkan diri ke seluruh pelosok Indonesia. Jawaban yang tersembunyi (mungkin): supaya posisi capres kokoh dan tidak mungkin diganti tokoh lain.

Belajar dari pilpres AS

Pemilihan presiden secara langsung di Indonesia baru pada 2004 dan 2009. Keduanya tak banyak memberi informasi dan pelajaran. Pilpres di AS yang sudah diadakan puluhan kali adalah sumber informasi dan sumber inspirasi yang tak pernah kering. Tak ada salahnya belajar dan mengacu pada pilpres AS, tetapi tentu diperlukan kejelian, ketelitian, dan kecerdasan dalam mengambil pelajaran.

Salah satu yang sudah kita tiru ialah membuat survei untuk mengetahui kecenderungan pilihan masyarakat. Pada 2004, penggunaan survei yang mengacu kepada metode Gallup itu belum sebanyak sekarang. Ada dugaan (semoga tidak benar) bahwa survei yang dilakukan di sini telah dicemari oleh intervensi yang dikhawatirkan akan merusak kredibilitas survei yang diselenggarakan secara benar dan betul-betul tidak memihak.

Hal lain yang juga sudah ditiru ialah penggunaan berbagai atribut serta iklan dan juga kegiatan yang diharapkan dapat mendongkrak popularitas dan tingkat keterpilihan sang calon, seperti debat calon.

Namun, kita lupa mempelajari bagaimana mengumpulkan dana dari masyarakat untuk mendukung calon yang betul-betul baik tetapi tak punya cukup uang untuk membiayai kampanye. Selain itu, bagaimana mendidik dan membiasakan pemilih untuk tak memilih calon berdasarkan pemberian uang kepada pemilih.

Tokoh atau partai?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com