Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aburizal Masih Terancam

Kompas.com - 03/07/2012, 04:31 WIB

Jakarta, Kompas - Pencalonan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai calon presiden masih menyiratkan belum adanya konsensus para elite. Ketidakhadiran tokoh populer dan berpengaruh seperti Jusuf Kalla dan Sultan Hamengku Buwono X tetap menyisakan potensi konflik internal.

Ancaman itu akan semakin menjadi-jadi jika Kalla dan Sultan nantinya diusung oleh partai politik lain.

Peneliti The Indonesian Institute, Hanta Yuda AR, berpendapat, jika saja didahului dengan konvensi, pencitraan Partai Golkar sebagai partai modern dan demokratis akan semakin baik dan kuat. Proses penetapan dinilai masih terkesan terburu-buru. Padahal, mekanisme konvensi juga akan lebih baik untuk menggerakkan seluruh komponen partai serta menggairahkan infrastruktur dan jaringan partai. ”Dari segi waktu, dua tahun menjelang pemilu presiden pas-lah, tidak terlalu lama tetapi tidak terlalu cepat juga,” ujar Hanta, Senin (2/7).

Kesiapan logistik, mesin organisasi partai, dan jaringan yang dimiliki Aburizal cukup memadai. Hanta menilai, dari strategi momentum, pencalonan Aburizal sengaja disegerakan menjelang penetapan daftar calon anggota legislatif. Hal ini tentu bisa menjadi instrumen untuk ”mengendalikan” para pengurus daerah. ”Jika tidak mendukung pencapresan, bisa jadi mereka terancam tidak bisa jadi caleg, bahkan bisa dikenai sanksi ’lengser’ dari posisi pengurus di daerah,” ujar Hanta. ”Saya kira ini strategi ’tepat’ dan ’cerdik’ dari Aburizal Bakrie.”

Meski demikian, Hanta juga mengurai tantangan Aburizal dan Partai Golkar. Fenomena pilihan yang terbelah antara pilihan saat pemilu legislatif dan pemilu presiden merupakan tantangan besar bagi Aburizal yang elektabilitasnya masih jauh di bawah Partai Golkar.

”Problem lainnya, persepsi publik tentang tanggung jawab sosial yang belum tuntas seperti Lapindo dan pengairan dengan kasus pajak. Itu beban elektoral yang perlu dituntaskan,” ujar Hanta.

Tidak demokratis

Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, di Jakarta, kemarin, mengatakan, pendeklarasian Aburizal sebagai satu-satunya capres dari Partai Golkar dinilai ditempuh dengan cara yang tak mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Proses pendeklarasian sama sekali tak memberi ruang bagi perbedaan pendapat atau pilihan.

Menurut Siti, proses penetapan Aburizal tidak melewati konvensi sebagaimana yang dilakukan Partai Golkar pada 2004. Model konvensi dihapus ketika Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Golkar (2004-2009). Penghapusan ini memberi legitimasi bagi Ical untuk juga meniadakan konvensi dan menggantinya dengan model penetapan seperti rapat pimpinan nasional khusus.

Ia menuturkan, Partai Golkar tampil sebagai partai yang modern dan demokratis ketika menerapkan konvensi. Citra itu kini hilang setelah sebanyak dua kali Partai Golkar meniadakan konvensi untuk menentukan calon presiden mereka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com