Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Problematika Sistem Presidensial Kita

Kompas.com - 22/06/2012, 02:06 WIB

Oleh Firman Noor

Saat ini wacana pemilu presiden tengah marak diperbincangkan. Salah satu persoalan mendasar kehidupan politik yang seharusnya tak luput dari perhatian kita adalah masa depan keberadaan sistem presidensial itu sendiri.

Hal ini terutama karena sejatinya kombinasi antara sistem presidensial dan multipartai yang kita gunakan secara empirik sebenarnya bukan kombinasi terbaik untuk menciptakan sebuah pemerintahan demokrasi yang stabil dan efektif. Kajian Scott Mainwaring mengisyaratkan, kombinasi itu terbukti gagal menciptakan demokrasi yang stabil dan efektif di 31 negara.

Alih-alih menjamin kestabilan politik dan menghasilkan pemerintahan yang efektif, yang terjadi adalah tiga skenario yang semuanya buruk.

Pertama, terjadinya deadlock antara eksekutif dan legislatif. Ini terjadi terutama karena presiden terpilih berasal dari kelompok minoritas di parlemen sehingga sulit mengegolkan kebijakan, yang akhirnya berbuntut pada macetnya program pemerintah.

Kedua, terjadinya fragmentasi ideologi politik. Ini menyebabkan tak adanya semacam ”pengubuan bipolar” yang kukuh dan seimbang, yang dapat memastikan keseimbangan politik di antara kekuatan politik yang ada.

Ketiga, sulitnya membangun koalisi eksekutif yang terkontrol dan kohesif. Hal ini terjadi mengingat demikian banyak partai yang ikut serta dalam gerbong pemerintahan dengan berbagai orientasi, idealisme, dan komitmen terselubung di dalamnya.

Dari beberapa negara penganut sistem presidensial, hanya Cile satu-satunya negara pengguna sistem multipartai yang mampu mempertahankan stabilitas politik dan demokrasi selama 25 tahun lebih. Negara lain pengguna presidensialisme yang dapat mempertahankan kehidupan demokrasinya lebih dari 25 tahun, seperti Kolombia, Kosta Rika, Uruguay, dan Venezuela, semua menganut sistem dwipartai.

Jika 25 tahun adalah ”batas usia” perjalanan kombinasi sistem presidensial dan multipartai, secara kasar dapat diprediksi sekitar 17 tahun lagi Indonesia berpotensi mengalami kekacauan politik yang sistemik. Batas usia itu bisa saja bertambah, tapi bukan tak mungkin pula terjadi dalam waktu yang lebih cepat.

Usul beberapa kalangan untuk mengubah sistem presidensial telah disampaikan guna mengantisipasi situasi ini. Kemunculan anjuran semacam itu memang masuk akal. Namun, meski peralihan dari satu sistem ke sistem lain mungkin terjadi, perubahan itu biasanya tak segera menyelesaikan inti persoalan dan justru kerap menimbulkan persoalan lain yang tidak sederhana. Faktor kesejarahan, kebiasaan atau budaya politik, kerap memicu resistensi yang kerap berkepanjangan atas hadirnya sistem yang benar-benar baru.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com