JAKARTA, KOMPAS.com -- Pemeriksaan tanah untuk mengetahui fiktif tidaknya bioremediasi yang dilakukan perusahaan eksplorasi minyak PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), gagal dilakukan oleh pihak independen yang disepakati Kejaksaan Agung dan CPI. Dengan demikian, hasil pemeriksaan kembali mengacu pada pemeriksaan oleh saksi masing-masing.
"Terkait pemeriksaan tanah, kejaksaan dan CPI masing-masing memiliki ahli. Selanjutnya kami berupaya menunjuk satu ahli yang sifatnya independen karena kita ingin fair dan terbuka. Karena itu kami meminta bantuan pada Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan. Namun mereka tidak bisa menelitinya," kata Kepala Pusat Penelitian Hukum Kejagung, Adi Toegarisman, Senin (18/6/2012) di Jakarta.
Pemeriksaan tanah dimaksudkan untuk mengetahui total petrolium hidrokarbon (TPH) atau kandungan minyak dalam tanah di sekitar tempat eksplorasi minyak. Jika TPH melampaui batas yang diatur, maka kemungkinan tidak dilakukan bioremediasi. Dengan tidaknya adanya ahli independen, maka hasil pemeriksaan diserahkan kepada ahli masing-masing.
"Pembuktiannya kami serahkan pada proses persidangan untuk mencari kebenaran materiil. Hasil dari kami akan dilampirkan dalam berkas perkara sebagai barang bukti," katanya.
Sementara itu, penasihat hukum Chevron, Todung Mulya Lubis mengatakan, hasil pemeriksaan tanah bagi Chevron tidak relevan, karena Chevron pada dasarnya telah melakukan praktik bioremediasi.
Menurut Todung Mulya, keberadaan ahli independen awalnya diperlukan, karena kejaksaan kurang percaya dengan ahli yang dipakai kejaksaan serta prosedur pengambilan sampel tanah yang dilakukan penyidik.
Bioremediasi merupakan proyek untuk menormalkan kembali tanah-tanah yang terkena limbah akibat adanya penambangan minyak. Kejaksaan menemukan indikasi adanya tindak pidana korupsi setelah melakukan penyelidikan. Kejaksaan Agung sedang menyidik dugaan korupsi pada proyek bioremediasi Chevron kurun waktu 2006-2011.
Dalam proyek ini, PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya sebagai pelaksana proyek dinilai Kejagung tidak memenuhi klasifikasi teknis dan sertifikasi dari pejabat berwenang sebagai perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan limbah. Kedua perusahaan tersebut hanya kontraktor umum saja, sehingga dalam pelaksanaannya, proyek tersebut fiktif belaka atau tidak dikerjakan.
Proyek fiktif tersebut diduga merugikan negara sebesar 23 juta dollar AS atau setara Rp 200 miliar. Presiden
Direktur Chevron A Hamid Batubara menegaskan bahwa proyek bioremediasi atau pemulihan tanah bukanlah proyek fiktif seperti yang disangkakan penyidik Kejaksaan Agung. Chevron memiliki sembilan tempat pemulihan tanah untuk bioremediasi di Riau.
Menurut Hamid, proses bioremediasi secara prinsip dikerjakan menurut aturan yang dibuat Chevron. Tujuannya memulihkan atau mengurangi kadar minyak pada tanah di sekitar tambang minyak. Dalam prosesnya, tanah dikeringkan, dipupuk, dibajak, dan dibolak-balik.
"Jadi kontraktor pelaksana hanya membantu membajak dan membolak-balik tanah karena mereka memiliki alat berat. Kontraktor tersebut tidak harus memiliki keahlian dalam bioremediasi. Kontraktor umum sudah bisa," tutur Hamid.
Bioremediasi yang dikerjakan PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya, kata Hamid, juga bukan merupakan proyek fiktif. Proyek bioremediasi diawasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan BP Migas. Proyek tersebut juga diaudit oleh BPKP dan BPK. "Sejauh ini kami tidak ada masalah dengan KLH, BP Migas, dan BPK," kata Hamid.
Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ini, yakni Ricksy Prematury, Kukuh, Widodo, Bachtiar Abdul Fatah, Endah Rumbiyanti, Herlan, dan Alexiat Tirtawidjaja. Kejaksaan telah mencekal para tersangka, kecuali Alexiat, karena yang bersangkutan tengah berada di Amerika Serikat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.