Hal itu disampaikan Presiden saat memimpin rapat kabinet terbatas bidang politik, hukum, dan keamanan di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa (12/6). Rapat khusus membahas penegakan hukum dan keamanan di Papua.
”Seperti diketahui, akhir-akhir ini terjadi sejumlah aksi kekerasan ataupun serangan-serangan yang secara beruntun dilaksanakan kaum separatis bersenjata. Aksi itu boleh dikatakan dalam skala yang kecil, dengan korban yang limited. Meski demikian, (serangan itu) tidak boleh kita biarkan,” kata Presiden.
”Saya ingin agar situasi sosial di Papua itu benar-benar bisa diatasi dan dipulihkan. Hukum dan keamanan mesti ditegakkan di wilayah itu untuk melindungi masyarakat,” katanya.
Menurut Presiden, kaum separatis bersenjata yang melakukan pelanggaran hukum dan kekerasan yang mengakibatkan korban jiwa harus diproses hukum. Tindakan kekerasan itu bukanlah bagian dari kebebasan berpendapat. ”Mereka tidak bisa dibiarkan. Saya meyakini itu tidak termasuk freedom of speech. (Kekerasan) Itu melanggar hukum,” katanya.
Presiden menyadari, persoalan penegakan hukum dan pemulihan keamanan di Papua tidak mudah dan kompleks. Presiden mengingatkan agar aparat TNI/Polri tetap mengacu pada hukum dan perundang-undangan saat menjalankan tugasnya di Papua. Setiap penyimpangan yang dilakukan aparat keamanan tetap harus dikenai sanksi.
Presiden juga menginstruksikan agar jajarannya yang terkait dengan masalah penegakan hukum dan keamanan di Papua memberikan penjelasan kepada publik tentang duduk perkaranya. Hal itu penting untuk menghindari persepsi yang salah di dalam ataupun di luar negeri.
”Saudara yang melakukan tugas, bicaralah. Kalau kita benar, bicaralah, jelaskanlah. Dengan demikian, rakyat akan mengerti duduk persoalan yang sesungguhnya,” katanya.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menyatakan, persoalan kekerasan di Papua tidak terlepas dari persoalan politik. Tidak dimungkiri masih ada kelompok kecil masyarakat di Papua yang masih memiliki pandangan separatisme.