Dalam perspektif (ilmu) hukum, Permen ESDM No 12/2012 (Permen 12) mengandung banyak masalah. Pertama, dari aspek waktu, ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menandatangani Permen 12, harga minyak dunia yang jadi rujukan ternyata sudah turun ke angka 90 dollar AS per barrel. Dengan harga tersebut, sebetulnya tidak ada lagi subsidi harga BBM karena harga patokan BBM di UU APBN sebesar 105 dollar AS per barrel.
Dengan penurunan harga minyak dunia tersebut pemerintah justru ”untung” atau surplus. Dengan demikian, Permen 12 telah kehilangan landasan faktual yang menjadi rujukan pengaturannya.
Kedua, aspek subyek yang diatur (personengebieds). Ternyata Permen 12 mengatur benda (kendaraan) yang tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi, tidak mengatur orang/pemiliknya.
Benar bahwa kendaraan yang menggunakan BBM, tetapi kendaraan tersebut hanya alat yang tidak mengemban hak dan kewajiban hukum. Karena itu, menurut ilmu hukum, dalam hal ini yang harus diatur adalah orang/pemilik kendaraan. Sebab, hanya pemilik kendaraan yang dapat dikenai kewajiban menaati norma, berikut kewajiban menanggung sanksi jika terjadi pelanggaran norma. Pertanyaan hukumnya: ”Kalau kendaraan tersebut tetap menggunakan BBM bersubsidi, apakah kendaraan itu harus didenda atau dimasukkan penjara?”
Kekeliruan pengaturan tersebut sebetulnya sudah ditemui Menteri ESDM ketika merumuskan Pasal 6 Ayat (2), yang merumuskan ”Pelaksana kegiatan perkebunan”. Yang dimaksud rumusan frase tersebut adalah orang, bukan benda.
Ketiga, aspek diskriminasi. Permen 12 memuat norma diskriminatif yang membedakan perlakuan berdasarkan wilayah dan golongan penduduk. Norma diskriminatif kontra konstitusional karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945. Memang ilmu perundang-undangan membolehkan adanya norma diskriminatif, yaitu norma diskriminatif positif yang bertujuan memberikan proteksi, bukan merugikan seperti norma Permen 12.
Keempat, dari aspek penegakan. Norma Permen 12 nyaris tak dapat ditegakkan. Sebab, pertama, tidak ada kejelasan subyek yang diatur norma. Kedua, tidak jelas lingkup kewenangan badan pengatur sebagai organ pelaksana Permen 12 yang dimaksud Pasal 7 Ayat (1) dan (2). Ketiga, belum tersedianya infrastruktur untuk melaksanakan Permen 12.