JAKARTA, KOMPAS.com — Setelah menempuh berbagai upaya hukum selama pelariannya di Amerika Serikat, terpidana perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang menjadi buron Kejaksaan Agung, Sherny Kojongian, tetap tak dapat bertahan di Negeri Paman Sam tersebut.
Immigration and Customs Enforcement San Francisco (ICE San Francisco) pada tanggal 10 November 2010 telah menangkap Sherny atas dasar red notice yang dikeluarkan oleh ICPO-Interpol di Lyon, Perancis, pada 2006. Red notice dikeluarkan atas permintaan NCB-Interpol Indonesia. Sherny kemudian sempat diberi kesempatan untuk mengajukan penangguhan penahanan dengan jaminan, selama menunggu persidangan deportasi.
Menurut siaran pers yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri, Selasa (12/6/2012), hakim pengadilan San Francisco, dalam sidang deportasi, memutuskan bahwa Sherny dideportasi ke Indonesia. Namun, Sherny sempat mengajukan banding atas putusan tersebut. Selama proses banding, yang bersangkutan tetap dalam penahanan ICE.
Pada sidang banding, Ninth Circuit Court of Appeals AS kembali menolak banding yang diajukan oleh Sherny dan menguatkan putusan sebelumnya bahwa yang bersangkutan harus dideportasi ke Indonesia.
Menurut Direktur Informasi dan Media Kementerian Luar Negeri PLE Priatna, Sherny tiba di Jakarta pada Rabu (13/6/2012) esok. Menurut Priatna, keberhasilan memulangkan Sherny ke Tanah Air merupakan wujud nyata implementasi sinergi dan kerja sama internasional antarpenegak hukum untuk memberantas korupsi.
Hal ini juga menunjukkan komitmen kuat Pemerintah Indonesia untuk menjamin tidak adanya kesan safe haven untuk para koruptor dan memastikan para terpidana korupsi mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sherny melarikan diri pada 2002 ketika proses persidangan kasus korupsi Bank Harapan Sentosa (BHS) berlangsung. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 18 Maret 2002 secara in absentia menjatuhkan vonis 20 tahun kepada Sherny Kojongian, bersama-sama dengan Hendra Rahardja dan Eko Edi Putranto.
Ketiganya dinilai oleh majelis hakim terbukti dan sah merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,95 triliun. Ketiganya juga dihukum mengembalikan kerugian negara tersebut secara tanggung renteng.
Vonis pidana tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 8 November 2002, tetapi tidak dapat segera dieksekusi karena ketiganya melarikan diri ke luar negeri.
Terhadap Hendra Rahardja, Pemerintah Indonesia telah mengupayakan ekstradisi yang bersangkutan dari Pemerintah Australia. Upaya ini tidak dapat terlaksana karena terpidana meninggal dunia pada tahun 2002.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.