jakarta, kompas
Hal tersebut mengemuka pada diskusi bertemakan ”Perkawinan dan Keluarga” yang diadakan Yayasan Jurnal Perempuan, Sabtu (9/6), di Jakarta. Hadir sebagai pembicara, aktivis Fatayat NU sekaligus Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Maria Ulfa Anshor; Ketua Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga Nani Zulminarni; dan peneliti bidang kependudukan Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI), Rani Tursilaningsih.
Menurut Maria, ketidakadilan jender dalam UU Perkawinan bersumber dari penafsiran teks- teks agama yang bias jender. Setelah melembaga dalam peraturan perundang-undangan, hal itu dianggap sebuah kebenaran mutlak yang diaplikasikan dan seolah tidak boleh diubah.
Padahal, ketentuan bisa saja berubah sesuai zaman. ”Bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang paling mudah diidentifikasi adalah pengekangan terhadap istri, poligami, dan perceraian sepihak,” kata Maria.
Beberapa pasal yang patut dikritisi adalah pasal tentang pencatatan nikah, poligami, hak dan kedudukan suami istri, serta kewajiban suami istri.
Sementara itu, menurut Nani, UU Perkawinan seharusnya mengatur bagaimana relasi antara suami, istri, dan anak yang adil dalam sebuah keluarga. Hal ini disebabkan selama ini kedudukan laki-laki yang ”dilabeli” suami memiliki keistimewaan dan kekuasaan yang luar biasa terhadap istrinya sehingga tidak jarang istri menjadi obyek kekerasan.
Rani Tursilaningsih memberi gambaran, umumnya rumah tangga yang dikepalai perempuan kondisi sosial ekonominya lebih buruk daripada rumah tangga yang dikepalai laki-laki. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, akses pasar kerja perempuan kepala rumah tangga terbatas.
Yang bisa dilakukan pemerintah saat ini adalah merevisi UU Perkawinan, merampungkan RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender, serta memberdayakan tokoh agama agar lebih berperspektif jender dalam merespons persoalan perkawinan.