JAKARTA, KOMPAS.com- Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar melalui penasehat hukumnya, Maqdir Ismail, menilai putusan Mahkamah Agung terhadap kliennya janggal, tak berdasar hukum dan keadilan. Putusan MA itu menguatkan vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Oleh sebab itu, Antasari meminta keadilan bagi kasusnya. Ia minta Komisi Yudisial menelaah proses keputusan majelis hakim di Mahkamah Agung (MA) saat menilai pengajuan PK (Peninjauan Kembali) yang diajukannya.
Kalau perlu, KY menyelidiki majelis hakim MA yang mengambil keputusan tersebut, di antaranya Ketua MA Harifin A Tumpa.
Hal itu diungkapkan Maqdir Ismail kepada Kompas, Senin (4/6/2012) sore ini di Jakarta.
"Salah satu butir penting dalam laporan dikatakan, pengadilan hingga Peninjauan Kembali (PK) tidak pernah memepertimbangkan fakta Antasari Azhar adalah seorang jaksa aktif. Dalam UU Kejaksaan, terhadap jaksa aktif, semua proses hukum harus mendapat izin dari Jaksa Agung," ujar Maqdir.
Antasari sebelumnya divonis bersalah dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen dan divonis 18 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Putusan itu kemudian diperkuat di tingkat banding dan kasasi oleh MA.
Perbedaan perlakuan
Ia memberi contoh, dalam perkara Antasari tidak pernah dikeluarkan izin dari Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk memproses hukum. Akibatnya, ada perlakuan berbeda dengan Jaksa Esther Tanak dan Dara Veranita, jaksa yang terlibat jual beli barang bukti berupa ekstasi.
"Keduanya baru ditahan oleh Penyidik Polda Metro Jaya setelah mendapat izin dari Jaksa Agung. Kenapa Antasari tidak?" tanya Maqdir lagi.
Pertimbangan putusan PK MA juga janggal. "Dikatakan, meninggalnya almarhum Nasrudin Zulkaranen memang tidak bisa disangkal akibat luka tembak. Yang disangkal adalah penyebab kematiannya bukan karena adanya perintah dari Antasari Azhar. Dan yang dipersoalkan dalam PK-nya Antasari, pembunuhan terhadap almarhum Nasrudin Zulkarnaen, tidak dengan senjata yang dijadikan barang bukti yaitu Revolver S&W special 0,38 yang dijadikan barang bukti. Namun, pistol lain," jelasnya.
Maqdir mengatakan, pertimbangannya Majelis hakim PK juga mengabaikan dan tak mempertimbangkan perbedaan anak peluru yang terdapat pada tubuh almarhum Nasrudin Zulkarnaen. "Padahal, menurut ahli forensik Widodo Harjoprawito, perbedaan kedua anak peluru tersebut membuktikan almarhum ditembak dengan dua senjata yang berbeda. Namun, dalam fakta persidangan justru senjata yang digunakan sebagai bukti hanya Revolver S&W special 0,38," ujarnya.
Menurut Maqdir, yang paling aneh dan tak masuk akal, pertimbangan Majelis Hakim PK halaman 144. "Terhadap Bukti PK-12 berupa hasil penyadapan KPK, tentang tidak adanya SMS dari terpidana kepada korban bukanlah merupakan bukti baru, karena ketiadaan SMS itu bukanlah menunjukkan ketidakada hubungannya antara terpidana dan korban," paparnya.
Adapun penyadapan oleh Polri, lanjut Madir, malah tidak menunjukkan adanya ancaman atas diri terpidana. "Akan tetapi, terpidana menggunakan kewenangan yang ada tetap memerintahkan penyadapan melalui staf analis informasi KPK," papar Maqdir lagi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.