Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Toleransi atas Intoleransi

Kompas.com - 30/05/2012, 02:03 WIB

F Budi Hardiman

Menanggapi pertanyaan gencar tentang kebebasan beragama di Indonesia dalam sidang kelompok kerja Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Geneva, baru-baru ini, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa memberi dalih yang sudah dapat ditebak.

Menurut Marty, alam demokrasi yang membawa kebebasan telah memberi kesempatan pihak-pihak yang berpandangan keras dan cenderung ekstrem untuk mengeksploitasi ruang demokrasi demi kepentingan mereka (Kompas, 24/5). Singkatnya, demokrasi bersalah karena memberi ruang untuk intoleransi.

Tanpa dimaksudkan, dalih itu merupakan pengakuan telanjang di hadapan dunia internasional bahwa pemerintah kita gagal menjamin toleransi dalam masyarakat. Bukan hanya itu, demokrasi juga disalahpahami.

Sebuah pemerintahan yang tidak dapat menjamin toleransi tak layak disebut demokratis. Sebagai keutamaan publik dalam masyarakat demokratis, toleransi tidak tersedia begitu saja pada ranah politis.

Toleransi dan intoleransi

Toleransi harus dikondisikan secara politis. Sikap-sikap toleran yang sudah ada pada ranah kultural harus diangkat ke ranah politis dalam bentuk sistem hak-hak yang dijamin oleh negara. Kegagalan pemerintah dalam menjamin hak-hak publik itu justru dapat merusak toleransi kultural pada lapisan akar rumput.

Semua pihak ingin diperlakukan toleran, maka negara mendapat legitimasinya jika dapat bersikap toleran terhadap warganya.

Namun negara salah memakai keutamaan ini, jika dipakai untuk menghadapi kelompok-kelompok radikal yang menindas minoritas dan mengancam kebebasan publik. Dalam situasi itu toleransi justru dirasakan represif oleh masyarakat. Sebaliknya, intoleransi mengandung alasan yang baik untuk dipilih.

Distingsi yang dibuat filsuf Italia, Norberto Bobbio, dapat membantu. Toleransi dan intoleransi, masing-masing memiliki arti positif ataupun negatif. Toleransi dalam arti positif adalah respek terhadap orang-orang yang memiliki iman, pemikiran, atau keturunan yang berbeda.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com