Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/05/2012, 03:52 WIB

Bre Redana

Agak sulit membayangkan dunia tanpa Lady Gaga sekarang. Era yang disebut era digital ini tidaklah mandul. Dia melahirkan putrinya, yang telah mengganti nama kelahirannya menjadi Lady Gaga. Musiknya yang dikategorikan techno, dipadu video, fashion, disertai ekstravaganza panggung menggema di klub mana saja, dari Kemang sampai Pattaya. Di Amerika, sampai muncul kajian akademik bernama ”sociology of fame” dengan kasus Lady Gaga.

Sejak debut albumnya, The Fame (2008), Lady Gaga telah secara eksplisit menyatakan apa yang hendak dicapainya. Dia ungkapkan persepsinya mengenai arti ”fame” (ketersohoran) yang melanda umat dunia yang kian narsis sekarang. Baginya, ”fame” berbeda dari ”the fame”. ”Fame” secara umum hanya merupakan ketersohoran, popularitas, sebagai sesuatu yang dicari-cari, dipuja, tanpa peduli prosesnya. Asal kaya, asal gila belanja, asal tak malu mengumbar narsisme, Anda bisa terkenal.

Itu berbeda dibanding ”the fame” yang ia maknakan berupa perasaan menjadi pesohor, yang ia ingin bagi kepada semua orang. Dalam kajian post-modernisme, ia seperti ingin mengasosiasikan dirinya dengan individu-individu yang selama ini dikategorikan ”the other” alias liyan. Yakni, mereka yang tidak bisa tebar pesona, taruhlah seperti Paris Hilton, Kim Kardashian, atau dalam lingkungan kita seperti wanita-wanita kaya yang suka mejeng di majalah-majalah gaya hidup. Untuk itu ia melakukan strategi jitu. Ia menyebut para penggemarnya ”my little monsters”—panggilan sayang, monster-monster kecilku....

Seribu persen dia sadar melakukannya. Kesadaran itu bisa dilihat dari rentetan pernyataannya, ia ingin mendudukkan kembali kebudayaan pop pada tempatnya yang terhormat. Selama ini, menurut dia, teramat banyak distorsi, termasuk dalam ideologi budaya pinggiran di mana apa yang disebut ”lowbrow” yang sebenarnya telah terkomodifikasi.

Yang ia puja bukan setan, melainkan Andy Warhol, ikon pop art di Amerika pada zamannya. Kepada koran Guardian dia pernah bilang: ”Saya berusaha keras untuk menjadi Warhol perempuan. Saya ingin membikin film, musik, fotografi, melukis suatu hari nanti, membikin museum instalasi seni....”

Kalau dulu Warhol di New York membentuk markas bernama Factory, kini Lady Gaga bersama tim kreatifnya membentuk Haus of Gaga. Berbeda dibanding Warhol yang dulu cuma dikelilingi teman-teman dekat yakni para jetset, dengan Haus of Gaga, Lady Gaga menyatakan mengajak semua orang bergabung dengannya.

Haus of Gaga bukan hanya tempat reriungan. Di sini proyek-proyek kreatif Lady Gaga digarap untuk memberi impresi serius pada dunia pop. Misalnya, ia mengenakan topi yang dibikin oleh arsitek kenamaan Frank Gehry, atau memainkan piano yang dilukis oleh seniman Damien Hirst. Bagi yang paham seni avant garde, siapa tak kenal nama-nama itu....

Dari berbagai referensi, kecerdasan Lady Gaga terlihat sejak dia kanak-kanak. Semasa remaja ia murid dari sekolah menengah elite di New York, berlanjut ke New York University’s Tisch School of the Arts. Ia mengikuti studi mengenai dirinya dalam kajian ”the sociology of fame”. Itu terungkap dalam wawancara televisi ketika acara penganugerahan Grammy tahun lalu.

”... kalau Anda bertanya pada saya tentang the sociology of fame dan apa yang salah di- lakukan seorang artis, yang salah dilakukan artis adalah mereka bohong, dan saya tidak bohong.”

Perhatian dia sepenuhnya tertuju pada dunia pop dan bagaimana menggarap serta mengelolanya. Sama sekali dia bukan Lady Gagal, tapi Lady Gaga. Ia telah menjadi resonansi sosial dari dunia hipermodern ini.

Sebagai wartawan, sumpah saya bermimpi mewawancarainya. Bukan tentang setan dan pocong yang di sini tentu banyak ahlinya, tetapi tentang dinamika dunia pop.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com