JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Umum DPP Gerakan Anti Narkoba (Granat) Henry Yosodiningrat menyesalkan keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memberikan grasi kepada terpidana kasus narkotika, Schapelle Leigh Corby. Menurutnya, pemberian grasi itu tidak sesuai dengan semangat pemberantasan narkoba di Indonesia.
"Grasi Corby itu takutnya menimbulkan suatu preseden yang buruk bagi negara kita. Itu tentu sangat bertolak belakang dengan kita," kata Henry seusai mengikuti seminar di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (24/5/2012).
Ia juga mengkhawatirkan negara lain juga akan melakukan hal yang sama jika warga negara mereka menjadi terpidana kasus narkoba di Indonesia. Ia mengaku tak terima dengan pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana di media massa yang berharap Pemerintah Australia juga melakukan hal yang sama ketika ada WNI menjadi tahanan di Australia.
Salah satunya pembebasan terhadap WNI yang ditahan di Australia Utara karena menjadi anak buah kapal dalam kasus trafficking. "Denny menyebutkan, Pemerintah Australia juga bisa melakukan yang sama untuk kasus trafficking WNI, anak di bawah umur. Tapi, itu kan berbeda. Enggak ada kaitannya dengan kasus narkotik," paparnya.
Seperti yang diketahui, Corby diputuskan bersalah atas tuduhan kepemilikan 4,2 kg ganja dan divonis 20 tahun oleh Pengadilan Negeri Denpasar pada 27 Mei 2005 silam. Namun, pada akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan potongan masa hukuman padanya selama 5 tahun. Hal ini menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat curiga pemerintah memiliki perjanjian politik tertentu dengan Australia sehingga grasi itu diberikan untuk Corby.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.