Jakarta, Kompas -
”Pengarsipan film itu perlu keahlian khusus. Ada ilmu dan etika profesinya tersendiri, seperti halnya dokter,” kata Lisabona Rahman, salah satu penggagas Masyarakat Film Indonesia yang sedang belajar Program Preservasi dan Presentasi Film di Universiteit van Amsterdam, Belanda, Minggu (13/5).
Tugas utama arsiparis dan kurator adalah merawat materi film dan menyajikannya kepada publik supaya bermanfaat. Mereka terikat etika profesi yang harus melindungi keselamatan koleksi dan membuka akses publik.
Pengurus Yayasan Pusat Perfilman H Usmar Ismail adalah para profesional produksi film. Mereka tak terlalu menguasai manajemen kearsipan karena bukan bidangnya.
Selain masalah dana, pengelola juga kurang menguasai masalah pengarsipan sehingga koleksi film, naskah, dan buku film di Pusat Informasi dan Dokumentasi Perfilman (Sinematek) tak terawat baik. Sebagian besar rekam jejak peradaban kebudayaan Indonesia ini nyaris hancur. Pada pusat dokumentasi yang didirikan tahun 1972 itu tersimpan lebih kurang 2.000 item koleksi.
Sejak tahun 1998, Pemerintah Provinsi DKI tak lagi membantu dana kepada Sinematek. Bantuan dana dari pemerintah pusat juga tidak ada. Sinematek yang menyimpan karya intelektual anak bangsa ini seperti dibiarkan mati pelan-pelan.
Lona Mohanda, peneliti utama dan arsiparis pada Arsip Nasional Republik Indonesia, mengatakan, tata kelola itu kunci utama pengarsipan. Sementara fasilitas memadai juga belum dimiliki lembaga yang mengelola arsip di Indonesia. ”Selama ini, perhatian pemerintah sangat minim terhadap arsip. Padahal, arsip aset nasional,” katanya.
Anggota Komisi X DPR, Dedy Gumelar, mengatakan, sejak lama, Sinematek Indonesia dibiarkan terlunta-lunta. Pemerintah harus segera menyiapkan dana dan merealisasikan untuk menyelamatkan Sinematek.