Penelantaran anak merupakan hilir dari bermacam persoalan kekerasan, termasuk kekerasan dalam pacaran. Belum lagi stigma masyarakat yang masih memandang miring anak yang lahir di luar hubungan pernikahan.
Ketua Divisi Pemulihan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Nurherawati mengatakan, kekerasan dalam pacaran (KDP) merupakan salah satu persoalan yang kerap membuat perempuan terpaksa meninggalkan bayinya, bahkan menggugurkan kandungan.
”KDP selalu berada di peringkat tiga kasus kekerasan pada perempuan yang tercatat di Komnas Perempuan,” ucap Nur.
Pada banyak kasus, terjadi pengingkaran janji yang banyak diucapkan semasa pacaran. ”Banyak orang yang berjanji manis ketika pacaran demi memikat pasangannya. Ada juga yang sudah mengenalkan orangtua mereka sebagai bukti keseriusan berpacaran. Kenyataannya, banyak janji yang diingkari dalam masa pacaran ini,” tutur Nur.
Mereka lantas melakukan hubungan seksual hingga terjadi kehamilan di luar pernikahan. Setelah perempuan hamil, banyak pria yang mengingkari janji mereka untuk bertanggung jawab dan menikahi pacarnya.
Ada juga perempuan yang dipaksa pacarnya untuk menggugurkan kandungan. Di sisi lain, perempuan juga dihadapkan pada situasi nilai-nilai yang sulit bila memutuskan terus membesarkan anak tanpa ada ikatan pernikahan. Belum lagi bila kemampuan ekonomi orangtua masih lemah.
Tekanan-tekanan inilah yang mendorong banyak perempuan dalam posisi gamang. ”Ini juga membuat posisi perempuan menjadi serba sulit,” ujar Nur.
Dia menambahkan, empati kepada perempuan yang membesarkan anak di luar pernikahan bukan berarti melegalkan hubungan seksual di luar pernikahan. Namun, hak hidup anak dan perjuangan orangtua membesarkan anak seharusnya juga dikedepankan.
Pada beberapa kasus, korban KDP memaksakan pernikahan dengan pacar mereka itu. Pernikahan ini tidak selamanya berlangsung mulus. Malah, kekerasan yang semula terjadi saat pacaran lantas berlanjut menjadi kekerasan dalam rumah tangga.