JAKARTA, KOMPAS.com - Tawaran justice collaborator kepada para tersangka kasus korupsi dinilai akan membuat penegak hukum, salah satunya Komisi Pemberantasan Korupsi, menjadi pasif dalam mengungkap kasus korupsi. Semestinya, aparat penegak hukum harus membongkar tanpa berharap pada keterangan tersangka.
"Kalau kita kasih justice collaborator, penegak hukum tidak bekerja. Kita gaji, kita kasih kewenangan yang besar agar mau membongkar kasus korupsi yang berkaitan dengan parpol, penguasa," kata Hifdzil Alim, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi UGM saat diskusi di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (4/5/2012).
Hifdzil menilai, pemberian justice collaborator sama halnya dengan kewenangan pembuktian terbalik saat mengusut harta kekayaan seseorang. Aparat penegak hukum hanya meminta pemilik harta untuk menjelaskan asal usul harta tanpa menelusuri ada atau tidaknya tindak pidana terkait harta itu.
Selain itu, lanjut Hifdzil, justice collaborator dapat membuat perselisihan antar lembaga. Misalnya, aparat penegak hukum menilai seorang tersangka layak mendapat keringanan hukuman setelah mau berkerjasama dalam mengungkap suatu kasus.
Namun, masalah akan muncul jika majelis hakim menganggap peran tersangka itu sangat besar sehingga dijatuhkan vonis lebih tinggi dari tuntutan jaksa. "Akan terjadi benturan antar lembaga," kata dia.
Menurut Hifdzil, tawaran justice collaborator bisa dimaknakan bahwa aparat penegak hukum frustrasi dalam mengungkap kasus atau telah terkontaminasi kepentingan politik. Pasalnya, ada keringan hukuman untuk tersangka.
Maka, lanjutnya, sebaiknya justice collaborator jalan terakhir. Sebaiknya, kata dia, perlu didorong memperkuat kerjasama antara KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan dalam mengungkap kasus besar.
Kontraproduktif
Budiarto Sambazy, wartawan senior Harian Kompas menilai, tawaran justice collaborator kontraproduktif lantaran memberi peluang bagi koruptor untuk dihukum ringan. Padahal, Indonesia saat ini dalam posisi perang terhadap korupsi dengan menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi.
Menurut Budiarto, justice collaborator sebaiknya digunakan dalam penanganan kasus narkotika yang melibatkan banyak pihak dan sulit dibongkar. Adapun kasus korupsi, kata dia, sebenarnya mudah dibongkar asalkan adanya kemauan.
"Menurut saya, yang bisa pakai justice collaborator yah kasus narkoba. Korupsi sebenarnya bisa amat mudah dibuktikan. Yang penting kerjasama antar penegak hukum, jangan sampai ada tumpang tindih," kata dia.
Abdul Haris Semendawai Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menilai justice collaborator tetap diperlukan jika melihat pengalaman pemberantasan korupsi. Selama ini, kata dia, korupsi dilakukan secara sistematis dan hanya diketahui oleh segelintir pihak. Bahkan, lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan terkadang tak dapat mendeteksi.
Kasus itu baru bisa ditangani ketika ada pengungkapan oleh pihak yang terlibat. "Kalau dia enggak mau bicara, terputus. Ketika dia mau bicara, proteksi apa yang bisa diberikan ke dia? Kalau dia dihukum berat, disamakan dengan yang lain, lebih baik saya engga mau ngomong," kata Abdul.
Wacana justice collaborator dikemukakan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjajanto menyusul ditahannya Angelina Sondakh, tersangka kasus Wisma Atlet dan Hambalang. KPK menawari Angelina Sondakh atau biasa disebut Angie sebagai justice collaborator alias pelaku kejahatan yang mau bekerja sama. Syaratnya, mantan Puteri Indonesia tersebut mau mengungkapkan keterlibatan semua pihak dalam kasus dugaan korupsi yang menjeratnya.
Bambang mengatakan, KPK konsisten memberikan hadiah kepada mereka yang mau bekerja sama mengungkap kasus korupsi, termasuk Angelina.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.