Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Endang Sedyaningsih, Peneliti yang Menjadi Birokrat

Kompas.com - 03/05/2012, 11:26 WIB

Oleh : Irwan Julianto

Ketika bertemu Dr Endang Sedyaningsih, MPH di Konferensi Influenza Eropa III di kota Vilamoura, Algarve, Portugal, pertengahan September 2008, ia tampak terkejut. Ia berpesan agar presentasinya tentang kesiapan Indonesia menghadapi epidemi flu burung di sidang pleno forum amat bergengsi itu tidak dilaporkan.

Alasannya karena ia baru saja dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi, Departemen Kesehatan. Ia tak ingin ditegur oleh Menteri Kesehatan waktu itu, Siti Fadilah Supari.

Di forum, dengan lancar dan jernih ia memaparkan situasi flu burung di Indonesia, yang tergolong paling tinggi jumlah kasus dan tingkat kematian korbannya di kawasan ASEAN.

Di luar dugaan, setahun kemudian namanya diumumkan menjadi Menteri Kesehatan yang baru. Namanya muncul pada saat-saat terakhir karena calon kuat sebelumnya, Prof Nila Moeloek, batal dipilih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Endang, dari seorang peneliti yang sempat menduduki posisi pejabat eselon dua di Balitbang Depkes, kemudian setahun lebih non-job, langsung melejit menjadi seorang menteri. Ini mematahkan tradisi karena selama ini para menteri kesehatan biasanya dokter klinis atau dokter yang pernah menjadi pejabat struktural di kanwil atau direktur rumah sakit di daerah. Sementara Endang adalah seorang peneliti biasa walaupun ia menyandang gelar master dan doktor ilmu kesehatan masyarakat dari Universitas Harvard.

Ada saja yang tak suka ia jadi Menkes. Misalnya, ia dituding mencuri virus flu burung dari Indonesia dan dikirim ke Amerika yang diduga bakal dijadikan cikal bakal vaksin yang nantinya akan dikomersialkan tanpa Indonesia menikmati hak dan royaltinya. Ada pula spekulasi bahwa virus flu burung asal Indonesia itu akan dikembangkan menjadi senjata biologis di AS.

Hal yang belakangan berkembang malah tudingan bahwa Endang bertanggung jawab untuk pengadaan reagensia untuk pemeriksaan infeksi flu burung pada 2006-2007, dan ia dianggap menghindari pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, sebagai Kepala Puslitbang Biomedis dan Farmasi ia tak memiliki wewenang untuk pengadaan barang.

Kondisi sakitnya yang parah tak memungkinkan ia datang sebagai saksi kasus korupsi di KPK. Lewat pesan Blackberry-nya tanggal 3 April lalu ia menjelaskan duduk soalnya.

”Sori nulis salah-salah. I can’t really see. My health problem is serious,” tulisnya. ”Terapi medik saya pun belum settled. Tim dokter saya sangat besar.... Beberapa hari sekali mendapatkan regimen terapi saya.” Itulah pesan tertulis terakhir yang saya terima. Setelah itu pesan-pesan saya tak pernah dibaca dan dibalas. Yang tersisa adalah personal statusnya yang berbunyi: Be strong.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com