Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasib Kartini Kini

Kompas.com - 21/04/2012, 02:23 WIB

Lies Marcoes

Ada empat isu yang membuat peringatan Kartini menjadi relevan saat ini: pendidikan perempuan, perkawinan poligami, perkawinan di bawah umur, dan kesehatan reproduksi. Keempat isu tersebut pada kenyataannya masih menjadi persoalan besar dalam pembangunan manusia Indonesia.

Data terpilah survei pendidikan yang dilakukan Mayling Oey baru-baru ini menunjukkan kecenderungan yang menggugurkan teori tentang rendahnya partisipasi anak perempuan. Pada semua jenjang pendidikan dasar 15 tahun, partisipasi murid perempuan naik melampai partisipasi murid laki-laki. Demikian pula halnya untuk pendidikan madrasah sebagaimana hasil penelitian Rumah Kitab.

Bukan hanya itu. Pada hampir setiap tingkatan, murid perempuan selalu menunjukkan prestasi gemilang. Mereka menduduki tiga besar murid berprestasi untuk semua jurusan. Namun, jangan bergembira dulu dengan data itu. Studi-studi antropologis memberi makna yang berbeda atas data statistik tersebut.

Jaminan orangtua

Pada keluarga-keluarga miskin di daerah transisi dari agraris ke industri Tangerang, Bogor, Serang, Sukabumi, ataupun Bandung dan sekitarnya, menyekolahkan anak perempuan sampai tingkat SMP merupakan satu-satunya jalan untuk bertahan hidup. Tanah garapan telah berubah menjadi pabrik atau perumahan.

Dalam situasi itu, ijazah SMP anak perempuan menjadi jaminan masa depan bagi orangtua tanpa pekerjaan tetap. Dengan ijazah SMP, anak mereka bisa bekerja di pabrik garmen atau menjadi buruh migran. Di wilayah Serang, misalnya, kelahiran bayi perempuan akan disambut gembira karena menjadi harapan untuk membawa keluarganya keluar dari jerat kemiskinan. Merekalah yang nantinya akan mengirim dollar dan riyal ke rumah.

Ini artinya, meningkatnya partisipasi perempuan dalam pendidikan tak secara otomatis meningkatkan otonomi mereka. Bahkan, sebaliknya, beban ekonomi keluarga diletakkan pada pundak anak-anak perempuan berpendidikan pas-pasan.

Jangan tanya soal aktualisasi diri atau kemandirian. Anak-anak perempuan itu tetap saja terikat oleh nilai-nilai kultural yang membatasi mereka untuk menentukan hidup dan pilihannya. Perubahan budaya ke arah manusia modern pada dasarnya tidak sungguh-sungguh terjadi.

Sampai batas umur tertentu, orangtua akan risau jika anak-anak perempuannya belum berjodoh. Maka perjodohan paksa pun masih sering dipraktikkan sebagaimana nasib Kartini seabad silam.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com