Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sultan: DIY dalam NKRI Harga Mati

Kompas.com - 13/04/2012, 06:22 WIB
Sutarmi

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Sri Sultan Hamengku Buwono X, dalam acara peringatan Seabad Sri Sultan HB IX di Pagelaran Kraton Yogyakarta, Kamis (12/4/2012) kemarin kembali memberikan pernyataan soal Daerah Istimewa Yogyakarta di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sultan mengatakan, sesuai dengan semangat dan komitemen Sri Sultan HB IX bahwa NKRI tidak bisa ditawar lagi, sudah merupakan harga mati.

Tinggal bagaimana Pemerintah Republik Indonesia apakah menangkap dan menghargai sikap itu sebagai kelanjutan dari penggabungan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. "Tinggal bagaimana menempatkannya ke dalam bagian dari NKRI," ungkap Sultan.

Menurut Sultan, pada dasarnya DIY sudah diatur sejak terbitnya UUD 1945, di mana BPH Puruboyo dan BPH Bintoro adalah anggota BPUPKI, sehingga keduanya ikut mengambil bagian dalam proses-proses persidangan persiapan kemerdekaan dan pembentukan konstitusi.

"Semua itu dilaporkan kepada Sri Sultan HB IX. Sehingga beliau pun memahami benar apa yang sebetulnya terjadi dalam proses kemerdekaan RI dan penetapan UUD 1945. Oleh sebab itu, dengan penuh kesadaran dan rasa tanggungjawab, Sri Sultan HB IX bertekad memaklumatkan Amanat 5 September 1945, Penggabungan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat ke dalam Negara RI. Amanat itu tidak lepas dari makna dan pesan-pesan yang terkandung UUD 1945 RI itu sendiri," kata Sultan.

Sultan juga mengatakan, HB IX dengan tegas menyatakan, Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa bagian dari Republik Indonesia. "Selanjutnya semua kekuasaan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dipegang sepenuhnya oleh beliau, bahkan di samping itu ada beberapa kekuasaan lain pun dipegang beliau sepenuhnya pula," papar Sultan.

Tahta untuk Rakyat
"Tahta untuk Rakyat" yang merupakan idealisme kepemimpinan Raja Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono IX menggambarkan enam sifat kenegarawan seorang pemimpin.

Enam sifat yang dimaksud yakni kesahajaan dan kesederhanaan seorang pemimpin yang tanpa ambisi kekuasaan; desakralisasi kepemimpinan seorang Sultan; komitmen seorang Pemimpin-Peneladan bagi rakyat yang dipimpinnya; dan kepemimpinan transformasional dan agent of change yang berani mendobrak tradisi untuk mendorong kemajuan pendidikan; menunjukkan jiwa-semangat kebangsaan yang total; serta menunjukkan jiwa-semangat kebangsaan yang total.

"Jangan mewarisi abunya, tetapi serap dan nyalakanlah apinya. Semangat kepahlawanan dan kepeloporannya, memang patut kita teladani. Seperti halnya pengembangan ajaran Asthabrata, tidak lagi hanya terbatas bagi kepemimpinan seorang Raja, tetapi juga bagi segenap lapisan rakyat. Dan lebih utama lagi, bagi generasi muda penerus bangsa," kata Sultan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com