YOGYAKARTA, KOMPAS
Demikian orasi budaya Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono (HB) X dalam Peringatan Satu Abad Sultan Hamengku Buwono IX di Pagelaran Keraton Yogyakarta, Kamis (12/4). ”Dalam
Sultan merefleksikan sosok HB IX dalam beberapa butir, yaitu pemimpin yang bersahaja, sederhana, dan tanpa ambisi kekuasaan. HB IX juga berhasil menerapkan desakralisasi kepemimpinan sultan, berkomitmen bagi rakyat, dan berani mendobrak kemajuan pendidikan dengan mengizinkan pemakaian keraton untuk kuliah mahasiswa Universitas Gadjah Mada.
”Meski sejak berusia 4 tahun hidup di tengah keluarga Belanda sehingga diberi nama Henkie dan belajar di negeri Belanda, beliau tidak kehilangan jati diri,” katanya.
Disposisi HB IX sebagai orang Jawa ia tegaskan saat penobatannya pada 18 Maret 1940. Waktu itu, HB IX mengucapkan kata-kata tegas: ”Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, tetapi pertama-tama saya adalah dan tetap, orang Jawa.”
Menurut Sultan, pernyataan tersebut menunjukkan sikap nasionalisme budaya progresif yang membuat Belanda sempat tercengang. Pada waktu itu, tidak ada sepatah kata pun dari HB IX yang menyebutkan ia akan setia apalagi tunduk pada Belanda. Sebaliknya HB IX akan bekerja keras untuk nusa dan bangsa.
Dengan itikad itu, HB IX juga menunjukkan jiwa semangat kebangsaan yang total, jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Visi tersebut akhirnya benar-benar diwujudkan di masa-masa genting proklamasi dan revolusi fisik.
Keputusan HB IX bergabung dengan Negara Kesatuan RI
Sultan mengatakan, komitmen HB IX terhadap NKRI tidak bisa ditawar lagi dan sudah menjadi harga mati. Tinggal sekarang Pemerintah Republik Indonesia sendiri, apakah menangkap dan menghargai itu semua sebagai kelanjutan dari penggabungan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dengan NKRI.