Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ideologi di Balik Rokokku

Kompas.com - 09/04/2012, 15:20 WIB

Oleh Mohamad Sobary

Seorang yang hingga umur 58 th tak pernah merokok, dan tiba-tiba merokok, jelas bukan karena salah pergaulan. Selama ini tak pernah ada yang salah dalam pergaulan saya. Para perobkok berat di antara kenalan, teman dan sahabat, maupun anak buah di kantor, tetap menjadi perokok berat dan saya tak terpengaruh, kecuali merasa sumpek dan panas.

Merokok tidak sehat. Merokok mempengaruhi kesehatan lingkungan. Merokok mencabik-cabik ekonomi perokok dari keluarga miskin. Merokok menyebabkan kanker, impotensi, merusak janin, sudah saya baca dengan sebaik-baiknya dan pesan terselubung agar orang tak merokok, saya taati. Di sana dengan sendirinya mungkin ada kebenaran. Jadi saya tak pernah berusaha untuk merasa tak setuju dengan anggapan-anggapan itu.

Tapi sesudah membaca tulisan Wanda Hamilton bahwa data yang diklaim sebagai kebenaran oleh para pejuang antri rokok dianggap tidak sahih, saya mulai terlibat dalam pemikiran tentang benar-salah di dalamnya. Dan ketika disebutkan bahwa yang terjadi di tengah gerakan anti rokok  itu sebenarnya perang bisnis yang tidak adil, saya memperkukuh pemikiran mengenai ketidakadilan ini sebagai bagian dari kekuatan sosial-ekonomi yang patut diperhatikan lebih seksama. Sikap tidak adil tak bisa dibiarkan begitu saja.

Kemudian ketika Bloomberg Inisiative mengumumkan bahwa lembaga itu menyeponsori ilmuwan, kaum profesional, lembaga penelitian, lembaga yang mengamati produk dan kenyamanan hidup masyarakat yang membelinya, juga, termasuk, menyeponsori lembaga keagamaan, agar membuat fatwa haram atas rokok, maka jelas bagi saya, bahwa ada sesuatu tingkah laku yang mencerminkan keserakahan global.

Banyak pihak dipengaruhi dengan duit. Para pejabat di Departemen, tingkat menteri, di bawah menteri, gubernur, bawahannya, bupati atau wali kota dan bawahan mereka, semua menjadi korban yang berbahagia, karena limpahan duit yang tak sedikit jumlahya untuk masing-masing pihak. Mereka menjadi korban kecil, karena harus membuat aturan dan sejumlah larangan merokok, yang mungkin tak sepenuhnya cocok dengan hati nurani.

Tapi apa artinya hati nurani di jaman edan ini dibanding duit melimpah? Para pejabat itu rela membunuh hati nurani mereka sendiri demi duit. Dan sayapun makin marah. Kemarahan itu makin jelas dan makin jelas bentukideologinya. Dengan begitu apa yang pribadi, bisa dikesampingkan.

Gerakan itu alur rasionya demi kesehatan lingkungan. Tapi tak tahukah mereka, bahwa di balik logika kesehatan itu ada keserakahan kaum kapitalis asing yang hendak menguasai bisnis global di bidang kretek? Kretek kita sangat khas. Dan di negeri orang bule, kretek kita mengantam telak perdagangan rokok putih mereka. Kretek unggul. Dan karena itu mereka berhitung bagaimana kretek bisa mereka caplok.

Djie Sam Su Sampoerna sudah dikuasai Phlilip Morris. Bentuk sudah dikuasai BAT, yang sejak puluhan tahun lalu hendak mencaplok kretek kita.  Pada mulanya saya bergabung dengan asosiasi Petani Tembakau (APTI) Jawa Tengah, sebagai penasihat para pengrusnya. Saya wira wiri ke daerah tiga gunung: Sumbing, Sindoro, Perahu. Sambil melakukan penelitian, saya juga melakukan advokasi, membela para petani tadi.

Tapi persoalan berkembang sangat cepat. DPR menyusun RUU. Pe,erintah menyusun RPP. Intinya hendak membunuh kretek. Dan petani dipaksa melakukan alih fungsi lahan, untuk bercocok tanam lain selain tembakau. Ini sudah  merupakan kekerasan dan pelanggaran hak hidup yang luar biasa, karena pengaruh para kapitalis asing makin besar.
Bagi saya, mereka bukan lagi kapitalis, melainkan kapitalis yang serakah sekaligus kolonialis dan imperialis. Kapitalis silahkan saja berebut lahan bisnis dan melakukan perang bisnis secara fair, terbuka, dengan semangat kompetisi bebas yang dibangggakan Amerika Serikat. Tapi bukan kompetisi bukan perang dagang yang terjadi. Semangat kaum penjajah seperti di zaman VOC dulu, lahir kembali dalam bentuk baru.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com