Manado, Kompas -
”Banyak daerah mengeluh karena proses pembangunan infrastruktur kurang mendapat perhatian,” ujar Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif di Manado, Selasa (27/3), ketika membuka Rapat Koordinasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah se-Sulawesi Utara.
Ia mengatakan, BNPB tengah merancang mekanisme penanganan satu lembaga untuk setiap bencana. ”Nomenklatur yang ada bencana ditangani sektoral. Kami menginginkan proses siap siaga, tanggap darurat, hingga proyek pemulihan ditangani BNPB,” katanya.
Proses perubahan mesti diikuti aspek hukum lebih transparan sebab penanganan anggaran bencana jangan sampai memunculkan bencana baru, yakni korupsi.
Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang mengatakan, daerahnya termasuk rawan bencana, tercatat 10.165 bencana dalam kurun waktu lebih dari 100 tahun sejak 1856.
Bencana alam dari banjir, longsor, hingga letusan gunung berapi telah merengut 5.086 jiwa meninggal dan 2.400 rumah dan bangunan rusak berat.
”Kawasan Sulut memiliki resistensi bencana, banjir, longsor, dan gunung api,” katanya.
Syamsul Maarif mengatakan, perubahan mekanisme penanganan bencana menyangkut kewenangan untuk penanganan proyek pemulihan.
Selama ini, kata Syamsul, proyek bencana ditangani oleh sejumlah instansi. Dia mengatakan, alokasi dana BNPB setiap tahun terkait jumlah bencana. Tahun 2012, BNPB mendapat alokasi sebesar Rp 4,7 triliun.
Syamsul juga mengatakan, perubahan mekanisme penanganan bencana di daerah dengan waktu lebih cepat tiga hari untuk proses tanggap darurat.
”Akan tetapi, proses penanganan bencana 80 persen bertumpu pada masyarakat sekitar yang mengalami bencana,” paparnya.
Terkait dengan itu, pihak BNPB terus melatih tenaga penanganan bencana tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan.
”Kami menargetkan setiap kecamatan terdapat dua tenaga yang tahu menangani proses darurat bencana,” katanya.