KOMPAS.com — "250 kali berdiri, diam untuk melawan lupa, tetapi saya dan kawan-kawan tidak pernah merasa capek. Ini untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan bagi Wawan, anak saya, dan rekan-rekannya. Siapa yang rela membiarkan anaknya diperlakukan tidak adil oleh negara."
Kalimat ini terlontar dari bibir Maria Katarina Sumarsih (52), ibunda Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Atma Jaya yang tewas dalam peristiwa Semanggi 1998. Hari sudah gelap ketika Kompas.com bertandang ke rumahnya, Rabu (14/3/2012), di kawasan Meruya, Jakarta Barat.
Ia bertutur tentang jalan panjang perjuangannya yang seolah tak berujung, tentang harapan yang tak pernah pupus, juga tentang "surat cinta" yang hari ini akan dikirimkannya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Surat cinta" yang dimaksudnya adalah selembar kertas yang berisi tuntutan kepada Presiden untuk menyelesaikan secara tuntas dan adil berbagai kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di negeri ni.
Sumarsih adalah motor perjuangan para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu yang tak kunjung letih mencari keadilan. Peristiwa Semanggi yang merenggut nyawa putranya mengubah hidupnya secara drastis, dari seorang pegawai negeri yang tidak pernah bersentuhan dengan dunia politik menjadi seorang aktivis hak asasi manusia.
Ia menjadi orator unjuk rasa. Ia berkeliling melakukan audiensi dengan institusi tentara, Komisi Nasional HAM, DPR, hingga Presiden. Sumarsih juga menjadi pendamping bagi keluarga korban, menyemangati mereka untuk tetap kuat memperjuangkan keadilan yang menjadi hak mereka.
Ia pernah melempar telur busuk ke tengah Rapat Paripurna DPR karena lembaga itu mengeluarkan rekomendasi yang menyatakan peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat.
Atas segala sepak terjangnya, ia pernah mendapat penghargaan Yap Thiam Hien tahun 2004. Ini adalah penghargaan kepada mereka yang dianggap berjasa memperjuangkan hak asasi manusia di Indonesia. Semangat dan keberaniannya menjadi ikon perjuangan kasus Tragedi Trisakti-Semanggi I dan II.
Kamisan
Ia adalah sosok di balik "Aksi Kamisan". "Aksi Kamisan" merujuk pada sekelompok orang yang setiap hari Kamis pukul 16.00 berdiri di depan Istana Negara di Jalan Medan Merdeka Utara. Mereka adalah para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, dari tragedi 65, Tragedi Mei 98, hingga kasus Trisakti- Semanggi I dan II. Mereka tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK).
Di seberang Istana, mereka tidak berorasi, tidak pula melakukan aksi teatrikal layaknya peserta unjuk rasa meski mereka sedang berunjuk rasa. Berpakaian serba hitam, membawa payung hitam, mereka berdiri dan diam, tanpa suara. Lewat diam, mereka ingin melawan lupa.