Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hukum Memihak yang Kuat

Kompas.com - 10/01/2012, 02:47 WIB

Haryatmoko

Vonis bersalah terhadap AAL (15), pencuri sandal jepit anggota Brimob, adalah ironi bagi impunitas para koruptor kakap. Mungkin benar kata Thrasymachus, ”Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat.”

Pernyataan ini dilontarkan dalam perdebatannya dengan Socrates tentang keadilan, seperti tertulis di buku Plato, The Republic. Thrasymachus mendefinisikan ”adil” sebagai yang sesuai dengan hukum atau yang dianjurkan kebiasaan dan hukum dalam negara kota.

Jika ”adil” disamakan dengan yang legal, sumber keadilan adalah kehendak pembuat hukum. Padahal, setiap rezim membuat hukum untuk mempertahankan kekuasaannya dan demi keuntungannya.

Atas nama kepastian hukum, AAL— siswa SMK Negeri 3 Palu, Sulawesi Tengah—divonis bersalah. Kepastian hukum menjadi mitos realisme hukum. Padahal, kepastian hukum lebih merupakan keyakinan seakan hukum itu sempurna sehingga tinggal diterapkan. Lalu, hukum dianggap sebagai ”suatu korpus aturan yang koheren siap untuk diterapkan oleh hakim yang terlatih dan cukup terampil dalam deduksi silogistis sehingga dapat menemukan jawaban yang tepat terhadap masalah dengan penuh kepastian” (Tebbit, 2000: 25).

Padahal, realitas hukum justru tak pasti. Masalah hukum menuntut pencarian keseimbangan antara prinsip, kebijaksanaan, dan asumsi yang tak tersurat. Proses pencarian ini sulit diramalkan alias tak pasti.

Bukti ketidakpastian itu tampak dengan adanya beragam tafsir hukum yang mengatur satu kasus sama. Dalam kasus korupsi, ada tersangka yang dihukum berat, ada yang dibebaskan, bahkan ada yang kasusnya ditutup.

Penganut positivisme hukum sering mengabaikan kesenjangan antara hukum tertulis dan penafsirannya. Padahal, penafsiran hukum sebagai korpus aturan bisa saja diterapkan pada kasus yang berlawanan. Lalu, bagaimana kepastian hukum bisa dijamin?

Jangan-jangan yang menjamin kepastian hukum sebetulnya adalah kekerasan atau kekuatan. Dalam banyak kasus, pejabat atau mereka yang kaya mudah memenangi perkara atau memperoleh impunitas. Lalu, hukum hanya berfungsi sebagai alat legitimasi kekuasaan dan berpihak kepada yang kuat.

Pada abad XVI, Machiavelli sudah melihat gejala itu. Maka, ia menolak mendasarkan politik atas hak dan hukum. Filsuf Italia yang sangat realis ini menyatakan bahwa tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksakannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com