Sebanyak 155 kepala daerah menjadi tersangka kasus dugaan korupsi, 17 di antaranya menjabat gubernur. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengungkapkan hal tersebut pada Rapat Kerja dengan Komite I DPD di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Senin, 17 Januari 2011. Ungkapan itu sangat mencengangkan karena menunjukkan bobroknya moralitas hukum kepala daerah.
Harapan masyarakat akan hadirnya pimpinan daerah sesuai aspirasi masyarakat semakin pupus setelah era pemilihan langsung justru menebarkan virus korupsi. Ada anggapan, jika dahulu korupsi hanya ”meracuni” anggota DPRD dalam proses pemilu kepala daerah, maka kini racun itu telah menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Nyaris tidak ada kepala daerah yang tidak memakai jurus politik uang dalam meraih kursi kepala daerah. Di sisi lain, masyarakat makin pragmatis, tidak akan mencoblos nomor sang calon jika tidak ada manfaat ”konkret” yang dirasakan.
Tak diragukan, korupsi menjadi yang paling menggelisahkan masyarakat daerah dalam menilai kiprah kepala daerahnya. Penggunaan dana daerah terutama bantuan sosial (bansos) yang tidak tepat oleh gubernur ataupun bupati menjadi momok di banyak daerah. Contoh kasus yang marak adalah korupsi kepala daerah di Jawa Tengah. Selama satu dekade terakhir, ada sekitar 20 kabupaten/kota yang kepala daerahnya tersangkut kasus korupsi. Secara nasional, selama 2010-2011 saja Litbang Kompas mencatat paling tidak 31 kasus korupsi, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, masuk proses hukum.
Hal yang memilukan, kasus korupsi tidak membuat jera ataupun malu kepada masyarakat, selain tentu saja ketidakberdayaan sistem hukum birokrasi kita. Tengok saja sejumlah tersangka kasus korupsi yang tetap saja dilantik sebagai kepala daerah. Sejak tahun 2008 sampai 2011 terjadi delapan kali pelantikan kepala daerah yang berstatus tersangka dan terdakwa. Kasus terakhir pada 7 Januari 2011, Jefferson Soleiman Rumajar dilantik sebagai Wali Kota Tomohon periode 2010-2015. Waktu itu, Jefferson tersangkut kasus dugaan korupsi, yaitu menggunakan dana di kas daerah untuk kepentingan pribadi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar
Penegakan hukum menjadi faktor utama yang menguatkan kegamangan publik memasuki tahun 2012. Sebanyak 69,6 persen dari total responden jajak pendapat pesimistis terhadap upaya penegakan hukum di tahun ini akan lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Apalagi, kasus korupsi dinilai oleh sebagian besar responden (40,4 persen) menjadi persoalan besar yang paling mendesak harus dituntaskan pemerintah.
Selain belum mampu menjerat aktor utama kasus korupsi, tidak jarang para terdakwa korupsi justru banyak yang divonis bebas. Berbagai vonis bebas mengusik kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam upaya pemberantasan korupsi. Apalagi, jika dibandingkan dengan soal keadilan hukum, tak sedikit kaum papa terseret dan diusut secara hukum untuk kasus-kasus yang relatif ringan, seperti terakhir kasus ”skandal jepit” AAL.
Masyarakat boleh jadi memang mudah lupa atau tidak peduli dengan kasus-kasus korupsi yang menimpa kepala daerah mereka. Pragmatisme telah menjalar ke seluruh sendi kehidupan masyarakat sehingga terpilihnya seorang pemimpin yang bersih dan bebas korupsi menjadi pertimbangan nomor ”buntut”.
Apakah kondisi demikian yang akan terus dijadikan