Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rasa Keadilan Hampir Mati

Kompas.com - 06/01/2012, 05:17 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Putusan bersalah yang dijatuhkan kepada AAL karena dituduh mencuri sandal milik seorang anggota polisi semakin menunjukkan, hukum hanya keras terhadap orang lemah. Hukum tak berdaya pada orang yang dekat dengan kekuasaan. Rasa keadilan hampir mati.

Demikian kesimpulan yang bisa ditarik dari percakapan Kompas dengan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, M Zaidun; Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Mudji Sutrisno, SJ; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji dan Hikmahanto Juwana; sosiolog Soetandyo Wignjosoebroto; Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Erna Ratnaningsih; Febri Diansyah dari Indonesia Corruption Watch; serta Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Jakarta Ali Munhanif, Kamis (5/1), secara terpisah.

Mereka menanggapi putusan hakim tunggal Rommel F Tampubolon dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Palu, Sulawesi Tengah, yang menilai AAL bersalah dan menyerahkan pembinaannya kepada orangtua. AAL dituduh mencuri sandal jepit merek Eiger nomor 43 milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Namun, di persidangan, yang dijadikan alat bukti adalah sandal merek Ando nomor 9,5. Putusan hakim juga tak menyebutkan sandal itu milik Ahmad (Kompas, 5/1).

Putusan dari hakim Rommel mungkin tak bermasalah secara legal. Namun, mengingat perlakuan dan vonis yang rendah pada pelaku korupsi, menurut Zaidun, putusan itu tidak memenuhi rasa keadilan rakyat. ”Sanksi pada kasus kenakalan anak adalah pembinaan oleh orangtuanya. Namun, prosesnya tidak bagus. AAL diperlakukan seperti terdakwa dewasa dan tidak ada pendekatan manusiawi,” tuturnya.

Mudji Sutrisno dan Ali Munhanif, secara terpisah, mengakui, hukum di negeri ini cenderung memihak penguasa dan pemilik modal. Elite dapat berkelit dari hukum dengan kekuasaan dan uang. Rakyat kecil sulit untuk memperoleh keadilan dan kerap menjadi korban. Kasus AAL bukanlah yang pertama di negeri ini yang menggambarkan ”matinya” rasa keadilan.

Ditambahkan Febri, hukum di Indonesia timpang. Buktinya, banyak terdakwa korupsi divonis rendah, bahkan bebas. Namun, AAL dan sejumlah orang kecil lain yang ”terpaksa” melakukan pelanggaran justru dihukum.

Menurut Hikmahanto, tak hanya perangkat hukum, aparat penegak hukum dan pemerintah juga belum berpihak terhadap rakyat. Mereka juga tak membantu rakyat kecil untuk mendapatkan keadilan ketika berhadapan dengan hukum. Hukum hanya tajam jika ke bawah dan tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas.

”Saya prihatin. Hakim terlalu legalistik jika pihak yang lemah menjadi terdakwa. Untuk kasus korupsi, hakim justru tak menggunakan kacamata kuda, tetapi seolah-olah memahami tuduhan korupsi tak terbukti dengan melihat konteks,” ujar Hikmahanto di Jakarta, Kamis. Keadilan pun tidak diperoleh rakyat kecil.

Erna pun mengakui, sampai kini penegakan hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Berkaca dari vonis bersalah terhadap AAL dan bebasnya puluhan terdakwa korupsi, rakyat seperti mendapatkan gambaran bahwa pemerintah tidak pernah memberikan keadilan kepada mereka.

Menurut Hikmahanto, ketidakadilan yang terus-menerus dirasakan rakyat bisa membuat mereka tak tahan dan berontak. Seharusnya pemerintah peka terhadap rasa ketidakadilan yang terus dialami rakyat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Temui Mensesneg Pratikno, Menpan-RB Anas Bahas Progres Skenario Pemindahan ASN ke IKN

Temui Mensesneg Pratikno, Menpan-RB Anas Bahas Progres Skenario Pemindahan ASN ke IKN

Nasional
Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Nasional
Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Nasional
Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

Nasional
Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Nasional
Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Nasional
Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Nasional
Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Nasional
Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nasional
JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

Nasional
Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Nasional
Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Nasional
DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

Nasional
Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Nasional
Nyanyi 'Pertemuan' di Depan Titiek Soeharto, Prabowo: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nyanyi "Pertemuan" di Depan Titiek Soeharto, Prabowo: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com