Oleh Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Dewan Penasihat International Institute for Democracy and Electoral Assistance, Stockholm
Laporan utama harian ini, terbitan 25 November lalu, ”Aparat Tidak Jera Korupsi”, membuat kita geleng-geleng kepala dan sangat prihatin. Ancaman hukuman penjara ternyata tidak membuat keder kalangan pejabat publik dari eksekutif, legislatif, sampai yudikatif. Mulai dari mantan menteri, gubernur, bupati, wali kota, anggota DPR, petinggi Polri, jaksa, sampai hakim sudah banyak yang dijebloskan ke penjara.
Dari waktu ke waktu, Komisi Pemberantasan Korupsi, juga Polri dan Kejaksaan, menangkap para pejabat publik yang terduga—dan kemudian terbukti di pengadilan—melakukan korupsi. Akan tetapi, tetap saja ada yang berani melakukan korupsi dan pasti masih banyak lagi yang sedang berusaha dengan cara apa pun menilep aset dan harta publik.
Hampir bisa dipastikan, kasus-kasus korupsi yang terungkap hanya merupakan bagian kecil atau puncak gunung es dari wabah korupsi di negeri ini. Masih banyak koruptor yang melenggang kangkung, bebas dari jangkauan hukum, bahkan asyik berbelanja entah di mana, apakah karena mereka memiliki beking tertentu yang kuat atau karena mereka dapat ”membeli” aparat hukum dengan uang hasil korupsi.
Kenyataan ini sekali lagi membuktikan bahwa pemberantasan korupsi sama sekali masih jauh dari selesai, bahkan sebaliknya: terlihat kecenderungan tambah meruyak ke mana-mana, menjangkiti hampir semua sektor publik. Akibatnya, kini seolah- olah hampir tidak ada lagi sektor publik yang bisa dipercaya bersih dari korupsi. Bahkan, sektor penegak hukum yang semestinya bebas dari korupsi seakan-akan menjadi tongkat membawa rebah karena adanya mereka yang terlibat korupsi.
Ketamakan dan hedonisme
Memandang terus berlanjutnya korupsi dalam skala mencemaskan di kalangan para pejabat publik, korupsi yang mereka lakukan tak lain karena kerakusan. Gaji dan berbagai insentif yang mereka terima sangat lebih daripada cukup. Karena itu, mereka korupsi karena ketamakan belaka, bukan karena ”kebutuhan”—yang juga tidak bisa dan tidak boleh ditoleransi karena setiap dan semua bentuk korupsi tidak dapat dibenarkan.
Namun, korupsi karena ketamakan lebih-lebih lagi tidak bisa ditoleransi, apalagi dibiarkan, karena angkara murka nafsu ketamakan sangat merusak baik pribadi, masyarakat, maupun negara-bangsa.
Tamak memang salah satu sifat bawaan manusia yang sebenarnya bisa dikendalikan dari diri sendiri baik dengan menggunakan akal sehat maupun hati nurani. Selanjutnya, tamak juga bisa dikendalikan dengan.......(selengkapnya baca Harian Kompas, Senin 5 Desember 2011, halaman 7)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.