Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perbedaan Politik Antarnegara Melebar

Kompas.com - 29/11/2011, 03:39 WIB

Durban, AFP - Kelanjutan satu-satunya komitmen global yang mengikat secara hukum terkait pengurangan emisi gas rumah kaca sedang terancam. Menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB yang berlangsung di Durban, Afrika Selatan, 28 November-11 Desember 2011, perbedaan politik tentang Protokol Kyoto semakin kompleks.

Ada dua agenda penting pada Pertemuan Para Pihak Ke-17 (COP-17)/Pertemuan Para Pihak untuk Protokol Kyoto Ke-7 (CMP-7) Kerangka Kerja Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Durban, yaitu tentang nasib Protokol Kyoto yang periode pertamanya akan berakhir tahun depan dan Dana Iklim Hijau (Green Climate Fund/GCF).

Tentang kelanjutan Protokol Kyoto, perpecahan dalam UNFCCC semakin kompleks. Menurut para analis, perpecahan terjadi antara negara kaya dan miskin, sesama negara kaya, dan sesama negara miskin.

Saat ini, Amerika Serikat dan Jepang tetap berpendapat agar negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, seperti China dan India, juga turut meratifikasi Protokol Kyoto. Negara-negara Uni Eropa menghendaki penundaan protokol baru sampai 2020 sambil melakukan negosiasi baru. Sementara sebagian negara-negara miskin secara sukarela mengurangi emisinya dan sebagian lain berkeras menuntut negara maju bertanggung jawab.

Soal Protokol Kyoto sekaligus upaya sukarela mengurangi emisi, menurut Sekretaris Eksekutif UNFCC Christiana Figueres, Senin (28/11), ”Pembicaraan tentang kedua hal itu pada tataran politik adalah hal amat berat.”

Soal dana GCF, pihak-pihak terkait akan meminta kejelasan dan kepastian sumber dana yang akan dikucurkan negara maju. Dana GCF merupakan dana yang rencananya dikumpulkan hingga 100 miliar dollar AS (sekitar Rp 900 triliun) per tahun pada tahun 2020 untuk negara-negara rawan dampak pemanasan global dan perubahan iklim.

Rekor tertinggi

Dua laporan PBB bulan ini menyatakan, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer tahun 2010 mencapai rekor tertinggi. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan mengungkapkan, kenaikan temperatur rata-rata global bisa 3-6 derajat celsius pada akhir abad ini jika negara-negara gagal menurunkan emisi.

Implikasi kedua laporan itu adalah meningkatnya pemanasan global yang akan menyebabkan bertambahnya intensitas bencana—banjir, angin ribut, badai, dan kekeringan—serta naiknya muka air laut. ”Jika kepemimpinan kuat, tak ada yang tak mungkin,” ujar Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma. ”Menemukan cara yang bisa diimplementasikan adalah inti konferensi,” ujar Figueres.

Paus Benediktus XVI di depan halaman Gereja St Petrus mengatakan, ”Saya harapkan semua anggota komunitas internasional sepakat memberikan respons yang bertanggung jawab dan bisa dipercaya menghadapi fenomena mengkhawatirkan dan kompleks ini demi kebutuhan generasi masa depan dan kaum miskin.”(AP/AFP/Reuters/ISW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com