JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah menilai institusi Kepolisian RI tidak perlu mencari pembenaran dengan peraturan pemerintah untuk melegalkan penerimaan dana dari PT Freeport Indonesia. Menurut Febri, dana yang diterima polri dari perusahaan asal Amerika Serikat tersebut telah melanggar UU.
"Polri kan selalu gunakan Keppres tentang pengamanan aset vital untuk alasan tarik uang. Tidak boleh polisi tarik uang. Departemen itu tidak boleh tarik uang selain anggaran yang dialokasikan dari APBN," ujar Febri sesuai mengikuti diskusi bertajuk "Modernisasi Kejahatan Korupsi dan Upaya Pemberantasan" di Bumbu Desa, Jakarta, Minggu (13/11/2011).
Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution mengatakan dana sebesar 14 juta dollar AS yang diterima institusinya bukan merupakan bentuk gratifikasi. Pasalnya, menurut Saud, pemberian dana tersebut telah diatur dengan menggunakan dalih Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 63 tahun 2004 tentang Pengelolaan Objek Vital Negara dan Undang-Undang No 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 5 Ayat 1 dan 2.
Menurut Febri, berdasarkan UU yang berlaku, harusnya dana diterima polisi sebagai salah satu institusi negara harus berasal dari APBN. Ia menilai, polisi seharusnya jangan justru membalik arti dari Keppres tersebut untuk mendapatkan tambahan dana dari PT Freeport. "Bayangkan saja untuk menyeberangkan orang polisi tarik uang. Itu logikanya. Keppres itu bukan membenarkan polisi menarik uang atau menerima uang. Keppres itu beri tugas kepada polisi untuk amankan aset vital, jadi jangan dibalik logikanya," sambungnya.
Karena itu, Febri mengatakan saat ini koreksi mendasar perlu dilakukan terhadap institusi Polri. Disamping itu, dalam melakukan koreksi tersebut, harus dicari tahu juga apakah dana senilai 14 juta dollar AS dari PT Freeport benar-benar sampai ke tangan personil polisi di Polda Papua. "Kalaupun Freeport atau perusaahaan manapun mau menghibahkan uang kepada penegak hukum atau kementerian itu harusnya melalui mekanisme APBN. Jadi tidak bisa langsung seperti itu, karena ini intitusi negara," tukasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.