Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presidensial Tidak Tergantung Partai

Kompas.com - 11/11/2011, 03:43 WIB

Jakarta, Kompas - Efektivitas pelaksanaan sistem presidensial tidak tergantung dari jumlah partai politik di parlemen. Oleh sebab itu, parpol diharapkan tidak berlebihan melakukan rekayasa dengan meningkatkan ambang batas parlemen.

Apalagi, ambang batas parlemen (parliamentary threshold) itu diberlakukan nasional.

Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Navis Gumay dalam diskusi tentang penetapan ambang batas parlemen, partai besar versus partai menengah di Senayan, Jakarta, Kamis (10/11). ”Jumlah parpol di parlemen bukanlah kendala dalam efektivitas presidensial. Ketidakefektifan itu justru lebih banyak disebabkan perilaku politik elitenya,” ujarnya.

Alasan efektivitas presidensial yang dijadikan pertimbangan partai besar dan pemerintah menaikkan ambang batas parlemen juga dinilai tidak mendasar. Pasalnya, bukan tidak mungkin dengan sedikit parpol di parlemen, sistem presidensial tetap tidak bisa berjalan dengan efektif karena perilaku elite politik yang tidak berubah.

Oleh karena itu, Hadar berharap parpol besar tidak terlalu berlebihan merekayasa alasan untuk meningkatkan angka ambang batas parlemen. Parpol besar ditengarai lebih mengedepankan kepentingannya dibandingkan dengan kepentingan bangsa dalam mengusulkan ambang batas parlemen itu.

Tiga parpol besar, yakni Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan Partai Demokrat, mengusulkan ambang batas parlemen yang tinggi karena lebih menguntungkan. Dengan ambang batas 4-5 persen, kemungkinan hanya parpol besar yang masuk parlemen. Sementara parpol kecil dan menengah mengusulkan ambang batas parlemen tidak lebih dari 3,5 persen karena khawatir tidak lolos ke parlemen.

Seharusnya, lanjut Hadar, parpol lebih mengedepankan kepentingan bangsa. Sistem dan perangkat pemilu semestinya dibuat dengan mempertimbangkan sistem proporsionalitas dan keterwakilan yang seimbang sesuai dengan amanat konstitusi.

”Hitungan saya, proporsionalitas akan terwujud dengan angka ambang batas 1,08 persen dan alokasi kursi 3-8 per daerah pemilihan (dapil),” katanya.

Pasalnya, lanjut Hadar, semakin tinggi ambang batas, semakin rusak proporsionalitas. Pada Pemilu 2004, disproporsionalitas masih 4,6 dan pada Pemilu 2009—dengan ambang batas parlemen 2,5 persen—disproporsionalitas menjadi 6,16. Diperkirakan jika ambang batas parlemen menjadi 5 persen, disproporsionalitas hasil Pemilu 2014 akan naik hingga 9,77.

Tak sebatas ambang batas

Anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu dari Fraksi PDI-P DPR, Ganjar Pranowo, menuturkan, persoalan pemilu tidak hanya sebatas persoalan ambang batas parlemen. RUU Pemilu seharusnya mengatur bagaimana penyelenggaraan pemilu menjadi lebih sederhana sebab banyak warga yang mengeluhkan Pemilu 2009 terlalu rumit.

”Saya datang ke dapil, semua bilang Pemilu 2009 paling rumit. Bukan hanya surat suaranya, sistem penghitungannya juga rumit,” tuturnya.

Anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin, meminta parpol kecil-menengah berbesar hati menerima usulan kenaikan ambang batas. Kenaikan itu demi perbaikan tatanan pemilu. (nta)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com