Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Papua Barat Siapkan 5,2 Juta Hektar

Kompas.com - 04/11/2011, 02:26 WIB

Manokwari, Kompas - Pemerintah Provinsi Papua Barat menyiapkan lahan hutannya seluas 5,2 juta hektar atau sekitar 60 persen dari luasan hutan di provinsi untuk masuk skema perdagangan karbon. Namun, pemerintah daerah belum punya regulasi yang menjamin keutuhan hutan di Papua Barat.

Menurut Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Papua Barat Hendrik Runaweri, Kamis (3/11), provinsi ini resmi diterima menjadi anggota Governors Climate and Forests (GCF). Oleh karena itu, pihaknya harus menyiapkan hutan untuk perdagangan karbon. Luas hutan 5,2 juta hektar itu tersebar di 11 kabupaten/kota di Papua Barat.

Jutaan hektar hutan itu berstatus hutan lindung (1,6 juta ha), hutan suaka alam (1,7 juta ha), dan hutan produksi terbatas (1,8 juta ha). Total luas hampir 60 persen dari luas hutan Papua Barat, yakni 9,4 juta ha. ”Sisanya, (4,1 juta ha) tak bisa dipakai perdagangan karbon karena statusnya hutan produksi dan hutan konservasi,” ujar Hendrik.

Untuk hutan produksi terbatas tetap diperhitungkan sebagai lokasi program reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) karena pemanfaatan hasil hutannya diseleksi secara ketat. Sementara, hutan produksi diambil hasil kayunya oleh 26 perusahaan penebangan hutan kayu, serta hutan konversi disiapkan menjadi perkebunan.

Adapun kawasan hutan yang berpotensi menjadi lokasi REDD+, di antaranya Cagar Alam Pegunungan Arfak (Manokwari), Cagar Alam Wondiboy (Teluk Wondama), dan hutan-hutan di Kaimana.

Kerja sama dengan LSM

Untuk menyukseskan REDD+ di Papua Barat, dinas kehutanan dan perkebunan bekerja sama dengan LSM Paradisea, Perdu, dan Samdana. Bahkan, sejak lima tahun lalu, melalui Peraturan Gubernur Nomor 2 Tahun 2008 tentang perdagangan kayu, pemda melarang penjualan kayu bulat ke luar Papua.

Secara bertahap, pengurangan kayu yang dijual ke luar Papua dari 90 persen hingga 20 persen pada tahun 2011. Targetnya, mulai 2012 tak ada lagi kayu bulat dijual ke luar Papua. ”Maksud kebijakan ini ada dua, yakni menyiapkan hutan untuk perdagangan karbon dan membuka industri kayu di Papua Barat. Semua kayu dari hutan di Papua Barat diolah di Papua Barat,” tutur Hendrik.

Sementara itu, menurut Direktur LSM Perdu, Mudjianto, selain menentukan luas hutan yang diperdagangkan, pemda juga perlu menyiapkan regulasi yang dapat mencegah kerusakan hutan akibat kegiatan ekonomi yang tak bertanggung jawab. Pasalnya, masuknya investor di bidang pertambangan dan perkebunan malah kerap merusak hutan. Hal ini jelas tak sejalan dengan program REDD+.

”Pemda harus meredesain model pengelolaan hutan yang berkelanjutan di Papua Barat,” kata Mudjianto. (THT)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com