Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembangunan Papua buat Siapa?

Kompas.com - 02/11/2011, 02:01 WIB

Ikrar Nusa Bhakti

Papua masih tetap merupakan ”Tanah yang Dilupakan”. Ia baru diingat ketika suatu gejolak politik yang disebabkan faktor-faktor dari luar atau dalam terjadi di wilayah itu. Ini bukan saja terjadi pada era kolonial Belanda, melainkan juga pada era Indonesia.

Tengok, misalnya, bagaimana Residen Hollandia saat itu, JPK van Eechoud, mempercepat pembangunan ekonomi dan politik di Papua pada akhir 1950-an sampai awal 1960-an agar Indonesia kesulitan mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Belanda menggelontorkan jutaan gulden untuk mempercepat pembangunan di Papua, Batalyon Papua dibentuk, orang Papua diberi kedudukan pada birokrasi rendahan, partai politik dibangun, dan Dewan New Guinea (DNG) juga dibentuk pada 1 April 1961.

Bahkan, Van Eechoud membolehkan tokoh DNG membuat ”Manifesto Politik” pada 1 Desember 1961. Isinya soal penaikan bendera Bintang Kejora setingkat di bawah bendera Belanda, lagu ”Hai Tanahku Papua” boleh dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda, ”Wilhelmus”. Burung mambruk pun jadi lambang Papua. Intinya, Belanda ingin Netherlands Nieuw Guinea tetap ada di genggamannya.

Dalam kadar yang berbeda, kebijakan Pemerintah Indonesia juga sama saja dengan apa yang dilakukan Belanda. Papuanisasi birokrasi pemerintahan di Papua baru dilakukan secara besar-besaran sejak reformasi bergulir pada 1998, untuk meredam gejolak politik yang menuntut referendum kemerdekaan Papua pada saat itu. Padahal, di era Orde Baru, proses Irianisasi birokrasi pemerintahan berjalan lamban karena khawatir, jika putra daerah mendominasi birokrasi pemerintahan, bisa-bisa orang Irian minta merdeka.

Kebijakan lipstik

Kebijakan pemerintah mengenai Papua terasa membingungkan, tak konsisten, dan sekadar gincu (lipstik) pemanis bibir. Kompas (27/10) secara gamblang sudah mengungkap berbagai kebijakan empat presiden RI soal Papua pasca-jatuhnya Soeharto: dari era BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, sampai Susilo Bambang Yudhoyono. Contoh yang paling konkret adalah kebijakan untuk memberikan otonomi khusus kepada Papua dan pemekaran daerah.

Tanpa persiapan matang mengenai penataan dan perekrutan birokrasi di Irian Jaya, juga tanpa konsultasi dengan DPRD Irian Jaya, pemerintahan Habibie tiba-tiba menerbitkan UU No 45/1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat pada 4 Oktober 1999. Ini disusul penerbitan Dekrit Nomor 327/1999 yang mengangkat Gubernur Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat pada 5 Oktober 1999. Karena ditentang oleh DPRD Irian Jaya, UU No 45/1999 ditunda pelaksanaannya dan dekrit dicabut.

Presiden Abdurrahman Wahid adalah presiden RI yang paling dikenang tokoh dan masyarakat Papua karena pendekatan politiknya yang manusiawi atas persoalan Irian Jaya. Ia tidak hanya mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua, mengawali dialog menuju otonomi khusus Papua, mengesampingkan pendekatan militeristik, tetapi juga membolehkan Bintang Kejora jadi lambang Papua.

Di era Megawati, UU No 21/2001 mengenai Otonomi Khusus Papua disetujui. Namun, kurang dari dua tahun, terbit pula Inpres No 1/2003 tentang Percepatan Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat. Tujuh bulan kemudian, hanya Provinsi Irian Jaya Barat yang dibentuk, Irian Jaya Tengah ditunda karena mendapatkan penolakan dan perlawanan dari masyarakat Papua. Hal lain di era Megawati, kekerasan terhadap tokoh- tokoh Papua dan penjeblosan ke penjara bagi mereka yang menyuarakan Papua Merdeka terjadi kembali.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com