Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Freeport Kurang Bayar Royalti Rp 1,6 Triliun

Kompas.com - 01/11/2011, 16:23 WIB
M Fajar Marta

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — PT Freeport Indonesia, menurut perhitungan Indonesia Corruption Watch, kurang dalam membayar royalti kepada pemerintah Indonesia Rp 1,6 triliun selama kurun waktu 2002-2010. Karena itu, ICW mendesak pemerintah menagih kekurangan itu.

Koordinator Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas, Selasa (1/11/2011) di Jakarta, menjelaskan, berdasarkan kontrak perhitungan royalti antara pemerintah Indonesia dan PT Freeport, seharusnya total royalti yang harus dibayar Freeport dalam kurun 2002-2010 adalah 1 miliar dollar AS (sekitar Rp 8,8 triliun).

Namun, ternyata royalti yang dibayar Freeport dalam kurun waktu itu hanya 873,2 juta dollar AS. Dengan demikian terdapat selisih sebesar 176,88 juta dollar AS atau setara Rp 1,6 triliun.

Tarif royalti yang digunakan dalam perhitungan itu adalah berdasarkan kontrak karya tahun 1991, di mana tarif untuk tembaga adalah 1,5-3,5 persen, emas 1 persen, dan perak 1 persen.

Menurut Firdaus, kekurangan royalti akan lebih besar lagi jika tarif royalti didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2000, yakni tarif royalti tembaga naik menjadi 4 persen, emas naik menjadi 3,75 persen, dan perak menjadi 3,25 persen.

Firdaus mengatakan, hasil perhitungan yang dilakukan ICW seharusnya sama dengan perhitungan pemerintah sehingga diduga pemerintah juga mengetahui PT Freeport kurang dalam membayar royalti.

Namun, Firdaus menduga, pemerintah tidak berani menagih kekurangan itu karena alasan politis dan tekanan Amerika Serikat terhadap pemerintah Indonesia. Patut diduga pula, kekurangan bayar royalti tersebut digunakan untuk menyuap atau memberikan gratifikasi kepada para pejabat atau institusi negara.

Ini terkonfirmasi karena ICW juga menemukan bahwa PT Freeport juga menyalurkan dana untuk Polri.

Karena sarat dengan penyimpangan-penyimpangan, ICW mendesak pemerintah untuk melakukan renegosiasi kontrak tambang Freeport. Alasannya, selain kontrak sebelumnya sudah cukup lama, yakni tahun 1991, juga karena sudah ada PP No 13 Tahun 2000 yang menaikkan tarif royalti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com