JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus pemalsuan dan penggelapan surat Mahkamah Konstitusi masih bergulir di Badan Reserse dan Kriminal Polri. Dua tersangka salah satunya mantan juru panggil MK, Masyhuri Hasan, kini menjadi terdakwa kasus itu dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain itu, nama mantan Panitera MK, Zainal Arifin Hoesein, juga ditetapkan sebagai tersangka dan sedang diproses kelengkapan berkas perkaranya.
Lantas bagaimana dengan pengguna surat palsu itu maupun otak perencana terjadinya pemalsuan dan penggelapannya? Jawaban tersebut belum dapat disampaikan Polri hingga saat ini.
Menurut Kabareskrim Polri, Komisaris Jenderal Sutarman, pihak di luar Polri bisa saja menguraikan kasus tersebut dengan logika. Namun, tidak dengan penyidik kepolisian. Polisi, kata Sutarman, belum bisa menentukan tersangka baru tanpa bukti yang kuat.
"Kejadian itu jauh (sudah lama). Logika kita kan berpikir ada yang menyuruh, ada yang membuat dan ada yang mempergunakan. Tapi kita kan tidak berdasar logika, tapi bukti," ujar Sutarman di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Selasa (25/11/2011).
Waktu peristiwa yang terlampau lama menjadi salah satu alasan kesulitan Polri mengungkap kasus yang disebut-sebut melibatkan Politisi Demokrat, Andi Nurpati. Apalagi, disebut kebanyakan pembicaraan antar orang-orang di dalam kasus itu, dilakukan via telepon. Oleh karena itu barang bukti harus berupa rekaman telepon.
"Sampai sekarang kita belum menemukan bukti yang menyuruh itu siapa karena kasusnya sudah setahun yang lalu. Ada (pelaku) yang menyuruh mungkin melalui telepon. Kita buka teleponnya sudah tidak ada komunikasi antara mereka," tuturnya.
"Itu salah satu kesulitan pembuktian mereka. Bukan apa-apa tapi sulit. Karena ini kan bukti elektronik. Kan kala setahun sudah dihapus," sambungnya.
Namun, kata Sutarman, penyidikan kasus tersebut akan terus berlanjut. Pihaknya masih akan memanggil saksi-saksi lainnya untuk mendapatkan bukti-bukti baru.
"Kita tetap memanggil pihak-pihak yang terlibat untuk menemukan bukti. Satu-satunya bukti kita adalah bukti elektronik. Kita masih berusaha maksimal," pungkasnya.
Seperti yang diketahui, kasus yang terjadi di antara MK dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini terjadi pada tahun 2009. Berawal dari penggunaan surat palsu jawaban putusan MK bernomor 112 yang dibuat pada 14 Agustus 2009 dan dipalsukan oleh Masyhuri Hasan pada 15 Agustus 2009. Surat palsu itu digunakan untuk memenangkan caleg dari Dapil Sulawesi Selatan I asal Partai Hanura, Dewi Yasin Limpo.
Berdasarkan fakta yang diungkapkan sejumlah anggota KPU dalam panja mafia pemilu, surat asli yang sebenarnya baru dibuat MK pada 17 Agustus 2009, berada di tangan Andi Nurpati. Itu pun baru ia serahkan kepada Biro Hukum KPU, setelah berpamitan meninggalkan KPU dan masuk menjadi kader Demokrat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.