JAKARTA, KOMPAS.com - Aktivis Indonesia Corruption Watch, Danang Widoyoko mengungkapkan, niat parlemen untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu dipertanyakan kembali. Terutama mengenai latar belakang di balik rencana itu. Menurutnya, jangan sampai keinginan revisi ada karena DPR melakukan "balas dendam" atas penangkapan KPK terhadap sejumlah anggota DPR yang melakukan korupsi. Hal tersebut justru menjadi indikasi pelemahan kekuatan KPK.
"Waktu itu wacana revisi Undang-Undang KPK ini muncul setelah KPK mengusut kasus kasus cek pelawat. Saya khawatir, semangat revisi UU ini berbeda. Bukan untuk memperkuat KPK tapi justru melemahkannya," ujar Danang di diskusi 'KPK, Sesuatu Banget' di Warung Daun, Jakarta Pusat, Sabtu (08/10/2011).
Hal senada diungkapkan salah satu mantan perumus Rancangan Undang-Undang KPK, Firman J Daeli. Menurutnya, kalau DPR merevisi aturan tersebut, harus disampaikan pada publik apa saja yang akan direvisi.
"Revisi memang bagus. Tapi tujuan revisi ini kan seperti bola liar tidak jelas. Jangan-jangan jadi pelemahan. Harus tentukan mana yang harus direvisi. Harus jelas ada batasan-batasannya," kata Firman.
Seperti diberitakan sebelumnya, sejak pertengahan tahun wacana revisi Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK terus bergulir di DPR RI. Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso menampik bahwa revisi undang-undang ini untuk melemahkan lembaga antikorupsi itu dan balas dendam. Ide ini sudah cukup lama ditentang oleh LSM-LSM antikorupsi, salah satunya ICW.
Bahkan ICW menyebut dalam 10 poin revisi DPR terdapat 9 poin yang membahayakan yaitu :
1. Menghilangkan ancaman hukuman mati yang sebelumnya diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999.
2. Menghilangnya Pasal 2 yang paling banyak digunakan aparat penegak hukum dalam menjerat koruptor.
3. Hilangnya ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal.
4. Penurunan ancaman hukuman minimal menjadi 1 tahun. Dalam UU yang berlaku saat ini, ancaman hukum antara 1-4 tahun untuk korupsi yang melibatkan penegak hukum dan merugikan keuangan negara.