Dalam waktu sekitar 40 menit penerbangan, pesawat komuter berbaling-baling yang berangkat dari Medan itu telah mencapai kawasan Pegunungan Bahorok. Jatuhnya pesawat diduga akibat adanya turbulensi di lokasi tersebut.
Menurut Budi Wuraskito, Direktur Aircraft System PT Dirgantara Indonesia, turbulensi muncul akibat faktor ganda, yaitu embusan angin dan terbentuknya awan kumulonimbus. Ketika gangguan tersebut
Empasan vertikal ke bawah itu dapat mendorong pesawat ratusan hingga ribuan meter dalam waktu singkat. ”Ada kasus yang mencapai penurunan 10.000 kaki (3.048 meter) dalam waktu 30 menit di Inggris. Dapat terjadi juga penurunan 6.000 kaki (1.829 meter) per menit,” kata Budi.
Penurunan pesawat atau impak ini dapat berdampak blackout pada penumpang ataupun pilot. Demikian pengamat penerbangan Dudi Sudibyo menjelaskan. Impak ini ditunjukkan dengan pengaruh gaya gravitasi terhadap bobot tubuh.
Seseorang yang terkena gravitasi 1G akan menanggung dua kali bobot tubuhnya. Semakin tinggi gayanya akan semakin besar bobot yang ditanggung.
Adapun kondisi fisiologis yang terjadi adalah naiknya aliran darah ke otak jika pesawat menukik. Efek yang akan diterima berupa rasa pening, muntah-muntah, hingga pingsan.
Di daerah Pegunungan Bahorok, yang merupakan bagian dari Bukit Barisan, dapat terjadi angin berbelok. Hal ini terjadi karena angin membentur tebing pegunungan lalu berbelok ke berbagai arah tergantung dari kontur tebing. Kondisi ini tentu membahayakan penerbangan yang melintas di sepanjang tebing tersebut.
Hal itu yang kemungkinan besar dialami pesawat naas tersebut. Pesawat komuter ini memiliki daya jelajah terbatas maksimum hanya dapat mencapai ketinggian tertentu.
Dudi menduga, pada kejadian itu penumpang mengalami blackout akibat penurunan ketinggian secara mendadak. Kemudian benturan pada dinding tebing dan pepohonan menambah efek benturan sehingga menewaskan penumpang.