Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Pante Tuak" yang Mengubah Perangai

Kompas.com - 01/10/2011, 04:22 WIB

FRANS SARONG

Kolang adalah nama salah satu klan besar di Manggarai, ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Seperti orang Manggarai umumnya, perangai komunitas Kolang rata-rata hangat, santun, lembut, dan terbuka hingga cenderung romantis.

Perangai itu—meski belum diteliti secara ilmiah—sangat mungkin dipengaruhi tradisi pante tuak (menyadap nira aren). Tradisi itu mengharuskan penyadap bersikap lembut dan romantis ketika harus ”merayu” pangkal mayang agar mengalirkan nira berlimpah.

Hingga tahun 1960-an, Kolang merupakan satu dari 38 hameente atau kedaluan (semacam desa) di Kabupaten Manggarai, yang belakangan merupakan wilayah tiga kabupaten—dua hasil pemekaran yang lain adalah Manggarai Barat dan Manggarai Timur. Kolang bersama Kedaluan Ndoso menjadi wilayah Kecamatan Kuwus (Manggarai Barat).

Kelompok kerabat Kolang menyebar di sejumlah kampung, seperti Wetik, Wol, Ngalo, Rawuk, Ndaong, Redek, Wajur, dan sejumlah anak kampung. Mereka secara turun-temurun menyatu dengan tradisi pante tuak.

Berbeda dari kegiatan serupa di daerah lain, di lingkungan orang Kolang cairan nira sejak awal merupakan bahan baku utama pembuatan gola kolang (gula merah). Namun, karena pembuatannya tergolong rumit dan membutuhkan kayu bakar dalam jumlah banyak, tetapi harga jualnya tidak menunjang, belakangan sebagian nira lalu disuling menjadi tuak atau sopi berkadar alkohol tinggi.

Lepas dari hasil akhir—gola kolang atau tuak—tradisi pante tuak memang menuntut perlakuan khusus. Di lingkungan orang Kolang, sebagaimana diakui tetua asal Wetik, Pius Midun (62), penduduk setempat memiliki keyakinan kuat bahwa kegiatan pante tuak hanya akan berhasil jika pangkal mayang ”dirayu” dan ”dielus” dengan penuh kasih sayang dan lembut. Rayuan dimaksud terutama saat awal penyadapan, yang lazim disebut tewa atau dende.

Begitulah, pagi itu sekitar bulan Mei 2011, Petrus Jeharu (37), penyadap asal Kampung Wetik, tengah melaksanakan tewa. Ketika memanjat aren mayang perdana di belakang rumahnya, ia hanya membawa serta potongan kayu khusus dari jenis kayu ara. Sesaat kemudian terdengar bunyi sentuhan halus ke pangkal mayang disertai suaranya berdendang dengan nada memelas. ”(Kegiatan) tewa harus terus-menerus setiap pagi-sore selama lebih kurang dua minggu,” kata ayah dua anak tersebut.

Pius Midun dan tetua lainnya, Mikael Depak (65), tak bisa memastikan perangai orang Kolang, termasuk warga Wetik dan sekitarnya di Desa Golo Riwu, yang cenderung hangat dan lemah lembut. Diduga hal tersebut dipengaruhi tradisi pante tuak yang sarat dengan situasi romantis tadi.

Sebagai contoh, penyambutan tamu selalu didahului kapok manuk dan tuak (pemberian ayam dan tuak), simbol sang tamu diterima secara adat. Contoh lainnya, dalam percakapan sehari-hari. Apabila hendak memotong pembicaraan rekan, yang bersangkutan mengawali pembicaraannya dengan kalimat: neka rabo, eta ulu keta tombo dite. Ungkapan itu semacam interupsi santun seraya mengakui pendapat atau pikiran rekan bicaranya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com