JAKARTA, KOMPAS
Salah satu pijakan penting adalah Strategi Nasional Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan serta Menjaga Konservasi Hutan (Stranas REDD+).
”Draf strategi nasional baru kami luncurkan 17 Agustus 2011 dan dapat diunduh di website http://reddplus.ukp.go.id,” kata Deputi Bidang Perencanaan dan Hubungan Internasional, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Heru Prasetyo, Selasa (23/8), di Jakarta.
Saat menjadi pembicara kunci ”Journalist Class: Ekonomi Rendah Karbon” yang digelar Yayasan Perspektif Baru dan Kemitraan itu, ia mengharapkan masyarakat memberi kritik dan masukan atas draf itu. Masukan dapat dikirimkan dalam waktu 30 hari sejak draf diunggah, yaitu sampai 17 September 2011 melalui surat elektronik di serambi.stranasredd@ukp.go.id.
Beberapa hal yang diharapkan menjadi masukan adalah kelembagaan, kerangka hukum yang tumpang tindih, dan pembagian manfaat bagi masyarakat. Setelah itu, masukan menjadi pertimbangan UKP4 dalam menerbitkan Stranas REDD+.
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Iman Santoso mengakui, mekanisme perdagangan karbon pernah diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan. Namun, penerapan ditunda karena mekanismenya harus diatur oleh Kementerian Keuangan.
Iman menyatakan, Indonesia memiliki 45 persen kebutuhan pasar karbon global. ”Kita bisa jadi penentu harga, yang beredar di dunia harga karbon 10-50 dollar AS per ton,” ujarnya.
Dengan potensi besar itu, diakui bisa memicu timbulnya cukong-cukong karbon. Ini dikhawatirkan mengulang penguasaan potensi hutan masa lalu. Tahun 1967-1999, hutan dieksploitasi kayunya. Tahun 2000-an, hutan dieksploitasi untuk sawit dan tambang. ”Kalau kita tidak hati-hati bisa-bisa karbon oversupply dan dikuasai cukong-cukong karbon,” katanya.
Meskipun belum terbit mekanisme perdagangan karbon, Kementerian Kehutanan sempat memberikan izin restorasi ekosistem bagi pengusaha yang beroperasi di Jambi dan Kalimantan Selatan. Iman mengatakan, para pengusaha tidak diperbolehkan menjalin perdagangan karbon dengan siapa pun hingga diterbitkan aturan main dari Kementerian Keuangan.
Chandra Kirana dari Climate Policy Institute memaparkan, China berencana melakukan perdagangan emisi pada enam wilayahnya pada tahun 2013 dan secara nasional tahun 2015. Negeri Tirai Bambu itu menurunkan 40-45 persen emisi karbon pada tahun 2020.
Sementara itu, Amerika Serikat yang merupakan negara penghasil emisi tidak memiliki kebijakan pajak karbon.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.