Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prospek Tinggi, Kesiapan Pemerintah Minim

Kompas.com - 24/08/2011, 04:22 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Tidak disangsikan lagi, hutan tropis Indonesia memiliki potensi besar menyerap emisi karbon. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai komoditas dalam perdagangan karbon. Namun, hingga kini, pemerintah belum memiliki mekanisme dan regulasi sebagai aturan main.

Salah satu pijakan penting adalah Strategi Nasional Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan serta Menjaga Konservasi Hutan (Stranas REDD+).

”Draf strategi nasional baru kami luncurkan 17 Agustus 2011 dan dapat diunduh di website http://reddplus.ukp.go.id,” kata Deputi Bidang Perencanaan dan Hubungan Internasional, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Heru Prasetyo, Selasa (23/8), di Jakarta.

Saat menjadi pembicara kunci ”Journalist Class: Ekonomi Rendah Karbon” yang digelar Yayasan Perspektif Baru dan Kemitraan itu, ia mengharapkan masyarakat memberi kritik dan masukan atas draf itu. Masukan dapat dikirimkan dalam waktu 30 hari sejak draf diunggah, yaitu sampai 17 September 2011 melalui surat elektronik di serambi.stranasredd@ukp.go.id.

Beberapa hal yang diharapkan menjadi masukan adalah kelembagaan, kerangka hukum yang tumpang tindih, dan pembagian manfaat bagi masyarakat. Setelah itu, masukan menjadi pertimbangan UKP4 dalam menerbitkan Stranas REDD+.

Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Iman Santoso mengakui, mekanisme perdagangan karbon pernah diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan. Namun, penerapan ditunda karena mekanismenya harus diatur oleh Kementerian Keuangan.

Cukong karbon

Iman menyatakan, Indonesia memiliki 45 persen kebutuhan pasar karbon global. ”Kita bisa jadi penentu harga, yang beredar di dunia harga karbon 10-50 dollar AS per ton,” ujarnya.

Dengan potensi besar itu, diakui bisa memicu timbulnya cukong-cukong karbon. Ini dikhawatirkan mengulang penguasaan potensi hutan masa lalu. Tahun 1967-1999, hutan dieksploitasi kayunya. Tahun 2000-an, hutan dieksploitasi untuk sawit dan tambang. ”Kalau kita tidak hati-hati bisa-bisa karbon oversupply dan dikuasai cukong-cukong karbon,” katanya.

Meskipun belum terbit mekanisme perdagangan karbon, Kementerian Kehutanan sempat memberikan izin restorasi ekosistem bagi pengusaha yang beroperasi di Jambi dan Kalimantan Selatan. Iman mengatakan, para pengusaha tidak diperbolehkan menjalin perdagangan karbon dengan siapa pun hingga diterbitkan aturan main dari Kementerian Keuangan.

Chandra Kirana dari Climate Policy Institute memaparkan, China berencana melakukan perdagangan emisi pada enam wilayahnya pada tahun 2013 dan secara nasional tahun 2015. Negeri Tirai Bambu itu menurunkan 40-45 persen emisi karbon pada tahun 2020.

Sementara itu, Amerika Serikat yang merupakan negara penghasil emisi tidak memiliki kebijakan pajak karbon. (ICH)

Kalau kita tidak hati-hati bisa-bisa karbon ”oversupply” dan dikuasai cukong-cukong karbon.Iman Santoso

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com