Jakarta, Kompas -
Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan), satgas harus menyelesaikan tugasnya paling lambat 31 Desember 2010 atau dapat diperpanjang hingga 30 Juni 2011.
Di samping membentuk lembaga khusus REDD+, yang mendesak adalah penyelesaian berbagai soal kehutanan. ”Bila belum bisa membentuk lembaga baru, sebaiknya tugas satgas diperpanjang. Itu satu-satunya opsi meneruskan persiapan REDD+. Bila ditarik ke sektoral, akan repot lagi,” kata Koordinator Perubahan Iklim dari HuMa, Bernardus Steni, Senin lalu.
Ketua Departemen Internasional dan Keadilan Iklim Walhi, Teguh Surya, menegaskan, perlunya audit terbuka dan pertanggungjawaban transparan kepada publik tentang kinerja Satgas REDD+. ”Sebelum dibentuk lembaga khusus untuk REDD+, harus ada evaluasi,” ujarnya.
Sembilan bulan Satgas REDD+ bertugas, kata Steni, ada delapan keluaran yang harus dihasilkan lembaga persiapan REDD+. Namun, belum ada dokumen final yang mestinya keluar sesuai dengan dokumen proyek terkait REDD+.
”Banyak yang masih rancangan,” kata Steni. Di antaranya dokumen strategi implementasi dan kerangka kerja monitoring dan evaluasi REDD+. Yang telah ditetapkan, misalnya, penunjukan lokasi percontohan program REDD+ di Kalimantan Tengah.
Steni juga melihat indikasi tidak fokus dalam bekerja. ”Idealnya lembaga itu anggotanya hanya bekerja di situ. Sekarang anggota-anggota satgas adalah birokrat kementerian sektoral sehingga masih terikat kepentingan sektor masing-masing,” ujarnya.
Anggota satgas antara lain Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup. Hanya ketua satgas dan sekretaris yang bukan birokrat dari kementerian, yaitu Kuntoro Mangkusubroto dan Heru Prasetyo.
Steni dan Teguh menegaskan, sebelum lembaga khusus REDD+ terbentuk, semua tunggakan masalah kehutanan harus segera diselesaikan. ”Banyak data lahan tumpang tindih karena
Selain itu, konflik lahan berjumlah ribuan. ”Banyak yang tewas,” ujar Steni.
Tata kelola juga masih parah. ”Status areal penggunaan lain juga banyak bermasalah karena status hukum kawasan tidak jelas sehingga banyak industri yang beroperasi di kawasan abu-abu ini. Ini ibarat cek kosong,” kata Steni.